“Kami dari kementrian PUPR terutama Dijen Sumber Daya Air ditugasi dalam konteks penanganan bencana disini mulai penanganan tanggap darurat dilanjutkan tahap penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi. Jadi saat ini kita masih dalam posisi tanggap darurat, bagaimana kita mengupayakan kejadian bencana itu tidak berdampak luas, intinya itu,” tuturnya.
Upaya yang telah dilakukan yakni pembukaan alur Sungai Lengkong, penutupan alur baru Sungai Lengkong, pembukaan alur Sungai Kobokan serta pembangunan tanggul sungai second line yang saat ini masih berlangsung.
“Jadi supaya tidak berdampak luas yang kita kerjakan adalah bagaimana kita mengembalikan alur sungai yang ada. Kemudian bagaimana kita membuang debris atau sedimen yang menghalang aliran sungai yang ada disini,” imbuhnya.
Adek juga menyatakan bahwa proses pembangunan tanggul Sungai Lengkong ini, terus dikebut mengingat potensi ancaman bahaya banjir lahar, erupsi maupun awan panas guguran Gunung Semeru masih cukup tinggi. Bahkan, sejarah mencatat frekuensi kejadiannya semakin lama semakin sepat.
“Seperti yang kita ketahui berdasarkan sejarah, erupsi Gunung Semeru ini pertama kali terjadi tahun 1818, kemudian tahun 1941 informasi juga ada, kemudian terjahir tahun 2021. Artinya kalau kita lihat sejarah, frekuensi kejadiannya semakin kesini itu semakin durasinya semakin cepat, semakin pendek. Kalau dulu periodenya seratus tahunan, kemudian pendek menjadi 50 tahunan, 25 tahunan mungkin kedepan lebih pendek lagi dan bisa menjadi periode tahunan,” pungkasnya. (wso/gol)
Load more