Jember, tvOnenews.com - Kekerasan seksual berorientasi lesbian gay biseksual dan transgender (LGBT) terhadap santri dan santriwati, serta kasus narkoba ditemukan di pondok pesantren. Pemerintah dan pondok pesantren disarankan untuk bekerja sama mengatasi persoalan tersebut.
Hal ini terungkap dalam media gathering dan diskusi panel tentang hak kesehatan reproduksi remaja yang digelar lembaga Tanoker dan Power to Youth Rutgers Indonesia (Ruang Temu Generasi Sehat Indonesia), di Hotel Dafam Fortuna, Kabupaten Jember.
Muhammad Alfin Mudatsir Nuril Qomari, Community Organizer Power to Youth lembaga swadaya masyarakat Suar Indonesia, menemukan dan mendampingi korban dua kasus kekerasan seksual pada Maret 2022 di dua pondok pesantren di Kabupaten Jember dan Jombang.
"Perempuan berusia 14 tahun dan laki-laki berusia remaja sekolah menengah atas," katanya.
Mereka mengalami guncangan psikis.
"Terlebih yang laki-laki. Dia dari keluarga broken home. Mau mengadu ke orang tua, orang tuanya bercerai. Pulang kadang ke rumah bapak, kadang ke rumah ibu," kata Alfin.
Menurut Alfin, kekerasan seksual itu bisa berupa 'cat calling' (suitan) dari sesama jenis atau bahkan hubungan seksual.
"Terjadi bukan hanya laki-laki dengan laki-laki, tapi juga wanita dengan wanita," katanya.
Kekerasan tak hanya dilakukan sesama santri atau santriwati, tapi juga oleh ustaz di luar jam pelajaran. Santriwati tersebut dibujuk sehingga mau membuka baju dan dipotret. Potret tersebut menjadi bahan untuk mengancam si santriwati jika mengadu.
"Sebenarnya saya merinding cerita ini. Saya takut salah juga," kata Alfin.
"Bukan kiai atau pesantrennya yang salah, tapi orang-orang tak bertanggung jawab disitu," katanya.
Lebih parah, menurut Alfin, pelaku kekerasan seksual juga bisa berasal dari orang luar seperti pedagang kaki lima di sekitar pondok pesantren.
"Ini kayak jadi siklus," katanya.
Kekerasan seksual di lingkungan pesantren tak lepas dari penyalahgunaan dalil agama oleh oknum. Alfin menilai, dalil-dalil ini perlu didalami sehingga bisa dibantah secara ilmiah.
Pengelola dan pengurus pesantren sebenarnya sudah melakukan pendisplinan terhadap perilaku kekerasan seksual ini. Menurut Alfin, ada hukuman berat yang menanti para pelaku LGBT di pesantren.
"Kalau ketahuan pengasuh, bisa diskorsing," katanya.
Alfin berharap ada upaya yang lebih sistemik untuk menangani persoalan. Dia berharap setiap pondok pesantren membentuk satuan tugas anti-kekerasan seksual.
"Teman-teman pesantren menolak LGBT, tapi di pesantren ada LGBT. Cowok suka dengan cowok. Saya sampaikan dampak-dampaknya," katanya.
Tanpa upaya sistemik, perlindungan dan advokasi terhadapn korban tak akan berjalan maksimal, termasuk melaporkan persoalan kekerasan seksual ini ke polisi. Para korban terlalu takut untuk buka suara, terutama karena mendapat ancaman. Padahal kekerasan seksual tersebut bisa berdampak buruk terhadap masa depan korban.
"Ada korban yang orientasi seksualnya berubah, suka laki-laki dan wanita. Mereka frustrasi. Sampai kapanpun ini jadi pengalaman tak terlupakan," kata Alfin.
Sementara itu, Syamsul Hadi Saputra dari Rumah Pintar dan Forum Anak Desa Karangharjo Silo mengatakan, munculnya penyimpangan ini tak lepas dari mudahnya pendirian pesantren.
"Kalau zaman dulu, pembina pesantren pasti anak kiai. Jaman sekarang, lima tahun lalu, Tommy Soeharto dianugerahi gelar 'Gus' di Surabaya. Padahal bukan anak kiai," katanya.
Pemilik dan pembina pesantren saat ini tak selalu memiliki garis keilmuan agama yang jelas.
"Jadi kalau mau memilih pesantren hari ini, mari memilih pesantren dengan sanad keturunan dan keilmuan yang jelas. Jadi jangan hanya karena melihat papan namanya megah, lalu anak kita pondokkan disana. Itu pintu masuk penyimpangan. Pesantren yang seperti itu biasanya tidak melapor (ke pemerintah), karena kiainya punya kepentingan," kata Syamsul.
Ancaman terhadap pesantren tak hanya dalam urusan kekerasan seksual, tapi juga peredaran narkotika. Temuan investigasi Alfin bersama pengurus sebuah pondok pesantren cukup mengejutkan. Ada seorang yang menjadi santri hanya untuk mengedarkan narkoba.
Syamsul membenarkan pernyataan Alfin.
"Kemarin ada oknum yang sengaja melempar (narkoba) ke santri secara gratis, sehingga santri kami mabuk. Kami langsung menelepon Kapolres dan meminta tolong untuk mencari dalangnya. Anak kami jadi korban. Mereka dikasih gratis. Uang saku santri seminggu Rp50 ribu, mana cukup buat beli narkoba," katanya.
Alfin menilai persoalan di pesantren membutuhkan perhatian semua pihak, terutama pemerintah, dan tak bisa dibebankan hanya pada pengasuh pondok pesantren.
"Harus ada kolaborasi antara pemerintah, orangtua, stakeholder, kiai, ustaz, dan pengurus pondok pesantren untuk mengatasi ini," katanya. (sss/hen)
Load more