Surabaya, tvOnenews.com - Meski pihak KPK telah meminta maaf kepada TNI terkait kasus penangkapan Kepala Basarnas Marsekal, Madya TNI Henry Alfiandi, dalam operasi tangkap tangan (OTT) dan telah menetapkan sebagai tersangka, pakar hukum menilai KPK tetap salah karena melampaui wewenang. Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi KPK dalam penegakan hukum, mengingat Kepala Basarnas ini masih merupakan anggota TNI aktif.
Pakar Hukum Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Profesor Doktor Soenarno Edy Wibowo menyayangkan terjadinya penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Basarnas Marsekal Madya (Marsma) Henry Alfiandi dalam sebuah operasi OTT kasus dugaan suap proyek pengadaan barang.
Pria yang akrab disapa dengan nama Bowo ini menyebutkan, KPK telah bertindak salah melakukan penangkapan terhadap personil TNI aktif. Apalagi juga menetapkan pelaku sebagai tersangka kasus tersebut.
“Mestinya, KPK melakukan koordinasi dengan pihak TNI sebelum melakukan penangkapan OTT terhadap Kepala Basarnas. Selain itu, sebenarnya yang berhak menetapkan pelaku sebagai tersangka adalah penyidik dari Polisi Militer, bukan KPK,” ungkap pria yang juga dikenal sebagai praktisi hukum ini.
Soenarno Edy Wibowo menambahkan, mestinya penyidik KPK yang melakukan OTT memahami kewenangannya.
“Tidak bisa menangkap dan menetapkan personil TNI sebagai tersangka, karena harus diserahkan kepada institusi TNI, mengingat TNI memiliki sistem penyidikan dan lembaga peradilan tersendiri, yakni Peradilan Militer,” turur Bowo.
“KPK hanya bisa menangkap atau menangani kasus kasus korupsi yang melibatkan oknum-oknum lembaga eksekutif, seperti Walikota atau Bupati, Gubernur hingga Menteri, selain itu legislatif atau anggota DPR baik dipusat maupun di daerah, dan yudikatif mulai dari tingkat Pegawai PN, Pengadilan Tinggi hingga MA. KPK juga bisa menangkap dan menyidik oknum anggota Polri, karena sudah tidak lagi bergabung dengan TNI,” pungkasnya. (msi/gol)
Load more