Di satu sisi, terang Hufron, pelakunya adalah anggota TNI AD dan satu sisi adalah swasta, dalam konteks ini dua orang anggota TNI aktif dan 3 orang dari swasta. Tetapi di sisi lain di undang-undang tentang peradilan militer. Peradilan militer itu adalah berwenang mengadili terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh subjeknya adalah para prajurit anggota aktif TNI, yang melakukan tindak pidana militer.
Solusi Tim Konektivitas
“Jadi, tarik menarik ketentuan hukum yang menimbulkan kegaduhan itu akan menjadi lebih bagus, apabila penyidikan penuntutannya itu melalui apa yang disebut tim konektivitas. Jadi, anggota penyidik dan nanti auditor militernya itu adalah tim gabungan antara penyidik KPK dan Puspom TNI, yang ditetapkan berdasarkan pasal 892 adalah SK Menhan disetujui oleh Menkumham,” tutur akademisi yang juga praktisi hukum di Surabaya ini.
“Maka dari situ, proses penyidikan akan bisa menjadi lebih terbuka dan lebih transparan. Karena ada dua penyidik yang bersama-sama untuk melakukan penyidikan sehingga akan lebih objektif dan tidak jeruk makan jeruk,” sambungnya.
Selanjutnya, kata Hufron, dalam proses perkembangannya apakah akan dihadiri melalui peradilan umum atau peradilan militer, sangat tergantung dari hasil penelitian bersama kalau kerugian lebih kepentingan public berarti nanti adalah tetap di peradilan umum.
“Tetapi kalau itu nanti ternyata dominan lebih ke orientasi militer, maka nanti baru itu pengadilan militer yang berwenang memeriksa kasus kaitannya dengan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Kepala Basarnas dan koordinator administrasi Basarnas ini,” pungkasnya. (msi/gol)
Load more