Sehingga hal tersebut beriringan dengan penerapan Green hingga Blue Economy. Sebab, jenis rumput laut Gracilaria Sp merupakan jenis rumput laut yang bisa hidup di tambak dan bisa mensubstitusi pemupukan.
“Karena banyak daerah Pantura yang masih sering kekurangan pupuk untuk tambak. Saya rasa penerapan metode tumpang sari ini juga beriringan dengan penguatan green economy hingga ke arah blue economy,” sebutnya.
Menurut Khofifah, jika metode tumpang sari ini terus dikembangkan oleh para petani tambak, maka bisa terwujud kesejahteraan lebih signifikan. Karena jika dihitung-hitung, kalau pada luasan satu hektar penghasilan dari tambak rumput laut mencapai Rp45 juta setahun, ditambah dua kali panen bandeng Rp25 juta berarti Rp50 juta, ditambah lagi udang tiga kali panen dalam setahun, setiap kali panen Rp5 jt berarti Rp15 juta. Maka total setahun untuk satu hektar bisa menghasilkan 110 juta.
“Dengan format tumpang sari, ikan bandeng bisa panen dua kali dengan nilai tiap panen Rp 25juta. Totalnya Rp 95 juta. Kalau udangnya bisa tiga kali panen dengan nilai tiap panennya Rp5 juta. Sehingga totalnya bisa mencapai Rp110 juta,” jelasnya.
Tak hanya itu, ia juga berharap proses hiliriasi dengan pendirian pabrik pengolahan rumput laut bisa didirikan di kawasan Sidoarjo.
“Apalagi jika dibangun dekat dengan sumber bahan baku (raw material). Ini adalah berita yang bagus bagi kita semua,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini juga turut diserahkan pula 30 Sertifikat Cara Budidaya Ikan Yang Baik (CBIB) oleh Dirjen Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan RI Tubagus Haeru Rahayu kepada Herry Sudarmono, M. Sanaji, M. Nur Kholis, Mujiono, dan M. Kohar.
Load more