”Jadi sudahlah, lebih baik pemerintah kembali saja pada PP yang sudah ada, daripada memaksakan aturan baru yang nantinya justru malah jadi rancu dan tumpang tindih karena dicampur aduk dengan yang lain,” katanya.
Dia lalu mencontohkan, potensi kerancuan yang muncul dari larangan lainnya yang juga termuat dalam draf RPP Kesehatan. Yaitu, larangan mengemas kurang dari 20 batang dalam setiap kemasan produk tembakau berupa rokok. Di sisi lain, aturan tersebut sebenarnya sudah diatur di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 217 Tahun 2021 sebagai amanat dari UU Cukai Nomor 39 Tahun 2007.
”Ini kan saling bertabrakan nanti regulasinya, sementara UU Kesehatan tidak mengamanahkan soal standarisasi kemasan,” tandas Adik.
Bisnis pertembakauan dari hulu ke hilir beserta multiplier efeknya telah menjadi tempat bergantung jutaan masyarakat Indonesia. Mulai dari petani tembakau dan cengkeh, pekerja pabrik, pedagang di tingkat retail, pekerja logistik dan transportasi, serta masih banyak sektor lainnya.
Industri Hasil Tembakau (IHT) juga telah berkontribusi pada penerimaan negara lewat cukai. Pada 2022 misalnya, hanya dari kontribusi cukai dan belum termasuk pajak-pajak lainnya sumbangsihnya sudah mencapai Rp 218,6 triliun.
”Tapi yang didapat teman-teman di ekosistem pertembakauan dan IHT justru tekanan yang terus datang bertubi-tubi, terutama dari pemerintah, itu realitas di lapangan,” pungkas Adik. (sha/gol)
Load more