Surabaya, tvOnenews.com - Pakar Hukum Tata Negara di Surabaya menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang nomor 7 tahun 2017, mengenai batas usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang dinilai kontroversial. Meskipun dalam pertimbangan MK disebutkan bahwa kebijakan hukum terbuka atau open legal policy masih dipergunakan, namun hal tersebut harus dicermati secara bijak, agar tidak ditafsirkan secara berbeda tergantung tingkat kebutuhan dan kepentingannya.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya, Dr Hufron SH. MH, dikabulkannya sebagian gugatan mengenai batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai Kepala Daerah tersebut, memang dianggap memberikan ruang kepada seseorang secara individu.
Pada titik itu, kata Hufron, menjadi penting pembicaraan tentang open legal policy menjadi suatu kajian akademik untuk memberikan tolok ukur yang tepat sehingga tidak seolah-olah tidak menjadi pedang bermata dua.
“Saat tertentu hakim konstitusi menggunakan untuk kepentingan dan kebutuhan tertentu. Dia mengatakan ini adalah open legal policy, tapi suatu waktu tertentu MK bisa mengatakan ini bukan open legal policy, apalagi DPR dan Presiden sudah menyerahkan seluruhnya kepada MK untuk mengambil putusan, tentu atas dasar asas yang disebut, di samping prinsip moralitas, prinsip rasionalitas dan ketidakadilan yang yang tidak bisa ditoleransi,” papar Hufron.
Hufron menegaskan prinsip-prinsip itu juga masih ambigu yang masih bersifat multitafsir. Kedua, tentang kedudukan Mahkamah Konstitusi yang pada awalnya adalah posisinya menguji peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar dalam konteks legislatif review, ternyata juga pada awalnya itu adalah menduduki status sebagai negatif legislator.
Jadi, lanjut Hufron, dia tidak menciptakan suatu norma baru tetapi atas alasan Yudisial activision ternyata Mahkamah Konstitusi bergeser, ada paradigma yang disebut sebagai positif legislator. Artinya, bahwa dia menambah dan memaknai norma baru seperti dalam perkara pengujian Undang-Undang nomor 90 /XXI tahun 2003.
”Ternyata memberikan makna baru terhadap pengertian, apa yang dimaksud sebagai usia minimal. Tetapi kemudian menjadi pernah dan sedang menduduki jabatan yang kemudian menurut dia ditambah dipilih melalui Pemilum termasuk Kepala Daerah,” jelasnya.
“Sebenarnya, hal ini adalah wilayah dari Badan Legislatif tapi yang diambil posisinya maka perlu diberi catatan kapan mestinya posisi MK berhenti pada negatif legislatif. Dan, kapan itu bisa menjadi sebagai positif legislator atas alasan Yudisial activism, karena kalau tidak itu menimbulkan persoalan bagi masyarakat terkait dengan soal kepastian hukum yang adil,” tandas Hufron.
Sebelumnya, sejumlah pihak termasuk Partai Solidaritas Indonesia atau PSI, mengajukan uji materi pasal 169 huruf q nomor 7 tahun 2017 Undang-Undang Pemilu tentang batas usia Capres-Cawapres ke MK. Penggugat meminta batas usia minimal capres dan cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun atau ditambahkan syarat sudah berpengalaman menjadi kepala daerah. (msi/hen)
Load more