“Yaitu, dimulai dari aspirasi para kiai-kiai dari seluruh Indonesia yang waktu itu berkumpul di Jatim di Langitan, Jateng di Rembang, Jabar di Buntet dan menyampaikan aspirasinya kepada PBNU agar PBNU mendirikan partai,” imbuhnya.
Yang mana, aspirasi tersebut waktu itu ditindaklanjuti oleh PBNU dengan membentuk tim lima yang diketuai oleh Ma’ruf Amin.
Tim itu kemudian melahirkan konsep yang akhirnya menjadi PKB dan dideklarasikan oleh pengurus besar yang deklaratornya antara lain adalah KH Ilyas Ruchiyat, KH Muchith Muzadi, KH Bisri Mustofa, dan KH Abdurrahman Wahid.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa PBNU waktu itu menginstruksikan PWNU seluruh Indonesia beserta pimpinan cabangnya agar memfasilitasi terbentuknya PKB di seluruh Indonesia. Partai tersebut kemudian dibekali AD/ART dan nilai-nilai moral.
“Keterangan saya ini artinya, menguatkan sebuah realitas bahwa hubungan antara NU dengan parpol yang namanya PKB ini adalah sebuah hubungan kesejarahan, hubungan organisatoris hubungan ideologis dan lain-lain. Sehingga kalau ada orang yang sekarang mengatakan, tidak ada hubungan PKB dengan NU, itu sebuah pertanyaan ahistoris yang tidak bisa diterima oleh sebuah realitas kehidupan,” bebernya.
Dan saat ini, tegas dia, telah ada penyimpangan, yakni menghilangkan kepemimpinan ulama yang telah diamanatkan oleh founding father terdahulu.
“Sehingga akhirnya, peran ulama menjadi hilang dan dalam keputusan-keputusan strategis partai tidak ada peran ulama mengambil keputusan, semua diambil alih oleh Ketum. Penyimpangan ini tentu tidak boleh terjadi, karena memang fitrah atau PKB dibuat itu aslinya adalah untuk memberi wadah kepada parah ulama menyalurkan aspirasi politik,” tandasnya. (zaz/far)
Load more