Tujuan utama dari skema itu, tambah Henik, bukan dalam rangka mempersulit masyarakat. Justru bertujuan untuk melindungi anak-anak dari bahaya pernikahan dini. Sebab pernikahan dini memiliki dampak negatif yang signifikan, baik dari segi fisik, mental, maupun sosial.
Remaja yang menikah dini seringkali belum siap secara fisik untuk kehamilan. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan melahirkan, seperti preeklamsia, kelahiran prematur, atau kematian ibu dan bayi.
Selanjutnya kesehatan mental. Pernikahan dini dapat menyebabkan tekanan mental, seperti kecemasan, depresi, atau stres karena tanggung jawab rumah tangga yang berat di usia muda. Selain itu, kurangnya kesiapan emosional juga sering memicu ketidakbahagiaan dalam pernikahan dan berujung perceraian. Seringkali tingginya angka pernikahan dini di suatu daerah juga berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian.
Pernikahan dini juga cenderung meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga. Kurangnya pengalaman dan kedewasaan membuat mereka lebih rentan terhadap pengendalian atau eksploitasi dari pasangan.
Kemiskinan juga bisa timbul akibat pernikahan yang tidak matang ini. Karena kurangnya pendidikan dan kesempatan kerja, pasangan yang menikah dini lebih mungkin terjebak dalam siklus kemiskinan, yang dapat berlanjut hingga generasi berikutnya.
"Melalui MoU in target kami adalah perkawinan usia anak usia dini bisa ditekan. Angka perceraian, kematian ibu dan bayi, angka stunting juga bisa turun," tutup Henik. (hoa/far)
Load more