Surabaya, tvOnenews.com - Wacana pemilihan kepala daerah atau pilkada dipilih langsung oleh DPRD kembali memanas. Apalagi, Presiden Prabowo Subianto mengusulkan terkait mekanisme pilkada dipilih langsung DPRD karena sejumlah pertimbangan.
Pakar Hukum Tata Negara menyebut ada lima faktor yang membuat isu ini kembali bergulir dan menjadi kontroversi. Apa saja faktor itu?
Pakar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus Surabaya Dr Hufron, SH MH menjelaskan terkait konstitusionalitas usulan Presiden Prabowo ini. Ia menjelaskan bahwa Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 menyatakan kepala daerah dipilih secara demokratis. Istilah "demokratis" tersebut, menurutnya, dapat dimaknai sebagai pemilihan langsung oleh rakyat maupun melalui perwakilan, seperti DPRD.
"Dalam teori, ini disebut sebagai open legal policy, artinya kebijakan terbuka. Baik pemilihan langsung maupun melalui DPRD, keduanya sama-sama demokratis asalkan prosesnya transparan, jujur, dan berintegritas," ungkap Hufron.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa sejak 2004, Indonesia telah menerapkan Pilkada langsung selama empat periode. Namun, evaluasi diperlukan untuk menentukan apakah mekanisme ini masih relevan dengan prinsip demokrasi Pancasila dan apakah lebih efektif dibandingkan sistem lainnya.
Menurut Hufron, terdapat lima alasan utama mengapa usulan Pilkada melalui DPRD muncul kembali. Pertama, Pilkada langsung dianggap membutuhkan biaya politik yang sangat tinggi, baik dari sisi APBN/APBD maupun dari pasangan calon. Kedua, Pilkada langsung kerap dikaitkan dengan praktik money politics, yang menciptakan pemerintahan koruptif.
"Sebanyak 492 kepala daerah terkena OTT KPK. Ini menunjukkan bahwa biaya tinggi dalam Pilkada langsung berimplikasi pada korupsi," katanya.
Ketiga, konflik horizontal di beberapa daerah sering terjadi akibat Pilkada langsung, seperti yang terjadi di Sampang. Keempat, tidak ada jaminan bahwa kepala daerah terpilih melalui Pilkada langsung memiliki kapasitas atau integritas yang baik. Terakhir, tingkat partisipasi publik dalam Pilkada cenderung menurun, seperti terlihat pada Pilkada 2020 yang hanya mencapai 70,72 persen.
"Gubernur sebenarnya adalah perwakilan pemerintah pusat. Oleh karena itu, untuk daerah tertentu, kepala daerah bisa saja dipilih oleh DPRD atau bahkan diangkat oleh pemerintah pusat," tambah Hufron.
Namun, mekanisme Pilkada melalui DPRD juga tidak luput dari kritik. Praktik politik uang berpotensi tetap ada, meski dalam skala berbeda. Dr. Hufron menyebut, jika Pilkada langsung rawan praktik politik uang secara "eceran," Pilkada melalui DPRD justru membuka peluang "grosir". Oleh karena itu, diperlukan komitmen dari partai politik untuk memastikan proses pemilihan berlangsung adil dan transparan.
"Intinya, baik Pilkada langsung maupun melalui DPRD, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Yang terpenting adalah prosesnya demokratis dan menghasilkan pemimpin yang berintegritas," tegas Hufron.
Usulan ini menimbulkan beragam pendapat di kalangan masyarakat. Sebagian mendukung karena dianggap lebih hemat biaya dan mengurangi konflik horizontal. Namun, tidak sedikit pula yang menolak karena dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Dengan wacana ini, Indonesia kembali dihadapkan pada pilihan besar: mempertahankan Pilkada langsung atau mengadopsi sistem baru yang dianggap lebih efisien. Keputusan akhir ada di tangan pemerintah dan DPR, dengan harapan menghasilkan sistem yang paling sesuai dengan kebutuhan bangsa. (msi/hen)
Load more