Supriadi mengungkapkan, sesuai Peraturan Menteri Keuangan RI No. 215/PMK.07/2021 dan Peraturan Bupati Lamongan No. 27 Tahun 2022, penerima BLT DBHCHT seharusnya berasal dari kelompok tersebut.
"Selain itu, faktanya di desa-desa tersebut, sejak 2021 hingga 2023, tidak ada masyarakat yang menanam tembakau atau bekerja di pabrik rokok. Ini mengindikasikan adanya manipulasi data yang dilakukan oleh tim pendamping, konsultan, atau pihak terkait lainnya," tuturnya.
Surpiadi mengungkapkan, jika dihitung dari jumlah penerima BLT yang tidak sesuai kriteria di Kecamatan Sugio sekitar 550 orang penerima dan jumlah bantuan per tahap sebesar Rp 900.000, maka dugaan korupsi mencapai Rp 495 juta.
"Dari angka tersebut tentunya ada potensi dugaan penyimpangan dana mencapai Rp 495.000.000 hanya satu kecamatan, yakni Sugio untuk tahap pertama," katanya.
Meskipun mantan Kadinsos Lamongan telah mengembalikan dana Rp 186,6 juta ke kas daerah, dirinya menilai ini belum cukup. Kejaksaan Negeri Lamongan diminta untuk menggali lebih dalam dan menelusuri apakah ada aktor lain yang terlibat.
"Kami minta Kejari Lamongan kembali mengevaluasi hasil perhitungan kerugian keuangan negara atas LHP dari Inspektorat Lamongan agar kasus dugaan korupsi dalam penyaluran dana BLT-DBHCHT semakin terang," ujarnya.
Sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur pengembalian kerugian negara dalam kasus korupsi.
Load more