Gresik, Jawa Timur- Jelang datangnya bulan suci Ramadan, keberadaan telaga Sendang Sono kembali ramai menjadi perbincangan warganet. Sendang yang tidak asing lagi bagi masyarakat Desa Suci, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik itu selalu ramai pengunjung yang akan menyambut bulan puasa dengan mensucikan diri( mandi) di dalam telaga.
Tidak hanya jelang Ramadan, telaga Sendang Sono sendiri di setiap tahun tepatnya akhir rabu bulan Shafar Hijriyah, selalu dirayakan berupa tradisi "Rebo Wekasan" di Desa Suci yang merupakan awal sejarah ditemukannya telaga tersebut. Lalu, bagaimana kisah sesungguhnya?
Dari keterangan tokoh masyarakat Suci H. R. Moch Syahid, Telaga Sendang Sono yang ada di jalan Pandanarum, Desa Suci itu telah ada sejak zaman Kerajaan Brawijaya (Majapahit ), tahun 1391. Di tahun itu terdapat seorang tokoh Sultan yang bernama Sultan Mahmud Sadad Alam yang berasal dari Gedah Provinsi Aceh.
Sang Sultan datang ke pulau jawa untuk mengantarkan putrinya yang bernama Dewi Retno Suwari atau lebih dikenal dengan Siti Fatimah Binti Maimun, tokoh perempuan Islam pertama yang menyebarkan Islam di tanah jawa, untuk dijadikan istri Raja Brawijaya.
"Kenapa Binti Maimun, tidak Mahmud karena masa kecil ayah Siti Fatimah dipanggil Maimun dan setelah menjadi Sultan menjadi Mahmud,” ucap Syahid.
Ketika sampai di Kerajaan Brawijaya yang saat ini berada di Mojokerto, Sultan Mahmud bernasib sial alias putrinya tidak diterima oleh Raja Brawijaya. Lalu sang Sultan kembali ke Gresik melewati Cerme kemudian menuju ke ujung Selatan Timur Kampung Polaman yang sekarang Desa Suci.
Setelah itu Sultan menuju utara kampung Polaman dan mengambil air wudhu di sumber mata air atau yang sekarang di kenal dengan Telaga Sendang Sono.
"Awalnya tidak tau jika ada sumber air, hanya melihat air lalu wudhu. Ternyata itu ada sumber mata air. Dan air itu suci dan mensucikan makanya disebut Kampung Suci atau sekarang Desa Suci,” jelas Syahid.
Akhirnya Sang Sultan kembali ke Gedah, dan Putrinya meninggal disini tepatnya di Makam Panjang Desa Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Kata Sono sendiri berasal dari kata Telaga Sendang Sono, karena ada tanaman Sono yang besar di telaga tersebut yang dulunya berbentuk jublang dijadikan tempat pemandian oleh warga. Pada jublang ( lobang, red), terdapat batas bebatuan di sekeliling telaga, dan kini sudah dibangun tembok pembatas telaga tersebut.
Di tahun 1403 M, tepatnya12 tahun kemudian, Gresik dikuasai Sunan Giri dengan Kerajaan Giri Kedatonnya. Sunan Giri memerintahkan santrinya yang bernama Syekh Jamaluddin Malik untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah barat Giri.
Di tengah perjalanan, murid tersebut menemukan kampung Polaman. Disitu mendirikan Masjid dan surau atau pondok untuk sarana pendidikan. Akhirnya santrinya pun semakin banyak berguru ke murid Sunan Giri itu. Karena banyak santri, sehingga membutuhkan air, dan Syekh Jamaluddin Malik membuat sumur di Kampung Polaman.
“Kebetulan air sumurnya keluar besar, dan karena besarnya air sumur itu dinamakan Sumur Gede. Sebelahnya sumur tumbuh tumbuhan asam, aslinya rasanya asam atau kecut, tapi waktu itu rasa asamnya manis sehingga kampung itu dinamakan kampung Asam Manis sampai sekarang di Desa Suci,” ucap Syahid.
Seiring berjalannya waktu, santri Syekh Jamaluddin Malik bertambah banyak dan untuk kebutuhan air bertambah banyak pula. Namun tetap saja masih kurang kebutuhan air saat itu. Akhirnya beliau (Syekh Jamaluddin Malik Red) matur (berkomunikasi) ke Kanjeng Sunan Giri. Sunan Giri pun memberikan petunjuk kepada muridnya itu tentang adanya sumber di Kampung tersebut.
“Kalau ada tanaman-tanaman besar disitu ada sumber. Itulah bunyi petunjuk Sunan Giri kepada muridnya. Akhirnya menemukan sumber itu, yakni sumber Telaga Sendang Sono. Setelah ketemu sumber itu, Syekh Jamaluddin Malik memindahkan Masjid Polaman beserta surau pondok ke sini (Jalan Pandanarum Desa Suci) yang sekarang namanya Masjid Mambaut Thoat,” papar Syahid.
12 tahun kemudian, setelah ditemukan sumber mata air, Sunan Giri memerintahkan santrinya Syekh Jamaluddin Malik untuk melakukan tasyakuran karena menemukan sumber, dan tabarrukan untuk mengambil barokah dari air itu dengan cara sholat malam, mandi malam, dan kebetulan ditetapkan pada hari Rabu terakhir bulan Syafar.
“Dari tahun ke tahun tambah ramai, banyak orang berkumpul di telaga itu, hingga ramai orang yang berjualan dan saat itu dinamakan tradisi Rebo Wekasan, hingga saat ini dilestarikan tradisi Rebo Wekasan,” ujarnya.
Syahid menyebut telaga Sendang Sono dulunya digunakan tempat pemandian. Dan ada lima tempat pemandian di Telaga sejarah tersebut.
“Sendang wadon tempat Ibu-ibu atau perempuan, Sendang sumber lanang untuk laki-laki, terus yang besar namanya Guyangan untuk memandikan ternak sapi, kuda kerbau. Blumbang tempat mandi untuk keluarga, dan Kola tempat sesuci akan sholat, yang air akhirnya dialirkan ke sawah masyarakat tempo dulu di tahun 1990 sampai 1999 masih ada,” kata Syahid.
Syahid berharap ada keseriusan Pemerintah Kabupaten Gresik untuk melestarikan telaga tersebut, karena tradisi Rebo Wekasan bersumber dari sejarah telaga Sendang Sono yang merupakan tradisi tertua di Pulau Jawa.
“Rebo Wekasan ini sinkronis dengan situs-situs sejarah, dan Rebo Wekasan mampu sebagai budaya daerah. Seharusnya Telaga Sendang Sono dilestarikan menjadi cagar alam, atau aset Desa agar tidak terbengkalai seperti saat ini,” pungkasnya. (M. Habib/rey)
Load more