Surabaya, Jawa Timur - Memasuki triwulan pertaman di tahun 2022 pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tercatat berada di kisaran 5,20 persen secara year on year (yoy). Padahal di periode yang sama tahun 2021, pertumbuhan ekonomi Jatim berada di angka -0,44 persen.
Pertumbuhan ekonomi ini didorong kegiatan pemulihan ekonomi setelah penurunan angka penderita Covid-19, serta peningkatan vaksinasi yang telah mencapai lebih dari 70 persen.
Ekonom Ahli Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur (KPw BI Jatim) Yayat Cadarajat menjelaskan bahwa pemulihan ekonomi di tahun 2022 ini didorong meningkatkan mobilitas masyarakat di berbagai sektor atau disebut juga ekonomi kerumunan.
“Pasalnya mobilitas masyarakat ini meningkatkan konsumsi ritel dan rumah tangga,” kata Yayat Cadarajat, Senin (13/6).
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim melaporkan angka inflasi di bulan April 2022 tercatat sebesar 1,05 persen. Sementara untuk inflasi tahun kalender (April 2022 terhadap Desember 2021) tercatat sebesar 2,28 persen.
“Inflasi ini didorong dengan meningkatnya permintaan setelah adanya peningkatan mobilitas masyarakat. Mulai dari kenaikan harga akibat peningkatan permintaan dan belum siapnya industri untuk memenuhi permintaan tersebut,” jelas Yayat.
Selain itu juga kondisi ekonomi global dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang membuat harga-harga komoditas mengalami peningkatan.
Kepala Bank Indonesia Kantor Wilayah Jawa Timur (BI KPw Jatim) Budi Hananto mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi seperti ini tentu menggairahkan.
“Namun inflasi harus dijaga. Karena itu BI Jatim bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim dan institusi lainnya yang tergabung dalam Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) sudah menyiapkan beberapa langkah,” tegas Budi.
Ada empat langkah utama yang disiapkan, disingkat 4K. Pertama, keterjangkauan harga yang diupayakan dengan gelar operasi pasar.
“Untuk langkah ini, tim memiliki siskamling inflasi atau ronda bertugas memantau harga-harga komoditi yang baik cepat untuk diintervensi dengan operasi pasar,” jelas Budi.
Kedua, kelancaran distribusi. Terkait hal ini, TPID terus melakukan kerja sama dengan pihak terkait agar distribusi tidak tersendat dan mengakibatkan stok yang kurang dibandingkan permintaan.
Ketiga, ketersediaan pasokan. TPID terus aktif melakukan pemantauan ke gudang-gudang dan sentra-sentra komoditas yang diprediksi akan mengalami kenaikan permintaan dan harga.
“Keempat, komunikasi. Selain secara internal, kami juga memerlukan informasi dan komunikasi dari berbagai pihak, terutama media, karena kekuatan verifikasinya yang cukup kuat. Juga edukasi ke masyarakat untuk belanja secara cermat dan menahan diri, dengan belanja sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan,” beber Budi.
Diakui Budi, inflasi saat ini selain didorong karena pemulihan ekonomi pasca pandemi juga adanya perang Ukraina-Rusia, yang sebelumnya sudah dimulai dengan adanya krisis energi di Eropa.
Kondisi tersebut membuat harga komoditas meningkat, ditambah adanya larangan ekspor dari negara-negara penghasil bahan baku sehingga pasokan ke industri di Indonesia tersendat.
“Terutama di Jatim, karena kontribusi ekonomi di Jatim yang paling besar ada di industri pengolahan yang mencapai 30 persen,” tukas Budi. (zaz/amr)
Load more