Lumajang, Jawa Timur- Kesuksesan Daim, warga Desa Sumberpetung, Kecamatan Ranuyoso, Kabupaten Lumajang, menanam ribuan pohon pinang mulai ditiru warga lain di Lumajang. Sebab, buah pinang yang awalnya tidak memiliki harga, kini memiliki nilai ekonomi tinggi.
Buah pinang basah kini dihargai Rp11000 per kilogramnya. Padahal dulu buah pinang hanya Rp3000 per kilogram.
Sedangkan, buah pinang kering yang biasa dikirim ke luar pulau Jawa, seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua memiliki harga yang jauh lebih tinggi.
"Ini harga yang super Rp77000 satu kilo, sedangkan yang biasa Rp44000 satu kilo," kata Hasan, pengepul buah pinang di Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang, Kamis (16/6).
Menurut Hasan, di kawasan Indonesia Timur, buah pinang menjadi semacam makanan pembuka sebelum mengkonsumsi hidangan utama. Selain itu, warga disana juga menjadikan pinang sebagai camilan harian.
Dalam seminggu, Hasan bisa mengirimkan pinang kering yang sudah dirajang sampai tiga kali pengiriman. Setiap pengiriman setidaknya terdapat dua ton pinang kering.
"Tergantung pesanan, bisa sampai tiga kali seminggu. Disana pinang ini seperti camilan," tambahnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lumajang, Mamik Woro mengatakan kesuksesan Daim menjadi pemicu warga lain untuk menanam pinang.
Kini, di Lumajang telah ada 239,5 ha lahan yang ditanami pinang. Luasan itu merupakan hasil kalkulasi dari lahan warga yang ditanami pinang.
Sebab, meski banyak warga yang mulai tertarik. Kebanyakan dari mereka tidak melakukan penanaman satu jenis tanaman saja di lahannya.
"Mulai banyak memang tapi ya itu tidak monokultural yang ditanam," kata Mamik.
Mamik menambahkan bahwa Kabupaten Lumajang sebenarnya merupakan penyuplai berbagai macam komoditas bagi daerah lain.
Namun, secara kuantitas tidak bisa untuk memenuhi pasar internasional, sehingga Lumajang belum mampu menjadi eksportir dari komoditas yang tumbuh di Lumajang.
"Sebenarnya banyak yang bisa kita jual keluar, tapi karena kuantitasnya itu kurang, jadi kita ikut daerah lain untuk ekspornya seperti manggis itu kita ikut Banyuwangi," sesalnya.
Lebih lanjut, Mamik juga menjelaskan pemerintah daerah juga kesulitan untuk melakukan intervensi kepada petani. Sebab, program yang dimiliki masih bergantung dari program pemerintah pusat.
"Kita kesulitan, karena program-program pertanian ini bergantung dari programnya pusat, walaupun kita mengajukan tapi kalau pusat tidak memberikan ya kita tidak bisa apa-apa, sedangkan APBD kita juga kecil," pungkasnya. (wso/hen)
Load more