Surabaya, Jawa Timur - Suciwati, istri pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga pendiri Kontras menjadi pembicara dalam bedah buku karyanya yang berjudul “Mencintai Munir”. Suciwati menyebut, Mencintai Munir adalah mencintai kebenaran, keadilan dan kesederhanaan.
Buku karya Suciwati ini diberi judul Mencintai Munir, dan sudah dilauncing 7 September 2021 lalu. Suciwati menjadi pembicara dalam bedah buku Mencintai Munir yang digelar di sebuah kedai kopi di Jalan Raya Prapen, Surabaya, Senin (28/11).
Dalam buku tersebut merekam jalan hidup Suciwati bersama suami, Munir. Di buku ini, ibu dari dua anak bernama Soultan Alif Allende dan Diva Suukyi Larasati ini menceritakan tentang pertemuannya dengan pejuang HAM Munir. Benih cinta yang tumbuh, kemudian membangun kehidupan rumah tangga, membesarkan kedua anak dengan kasih saying, hingga lelaki yang dikenal berani dan tegas itu dibunuh dengan cara diracun.
“Jalan hidup yang saya pilih dengan cinta bersama Mas Munir. Saat saya memilihnya sebagai suami, juga ketika saya berjuang untuk menguak tabir pembunuhan Munir yang terjadi di awal transisi Indonesia menuju demokrasi, yang sampai hari ini masih menyimpan banyak tanya,” ungkap Suciwati di hadapan peserta, dari kalangan mahasiswa dan aktifis HAM di Surabaya.
Tak hanya itu, buku ini juga mengisahkan perjuangan Suciwati untuk mengungkap kematian suaminya Munir sampai saat ini. Pada 7 September 2004, Munir tewas karena racun arsenik di atas pesawat yang ditumpanginya menuju Belanda. Kala itu, Munir sedang berangkat untuk melanjutkan pendidikannya di bidang hukum di Amsterdam, Belanda.
“Buku ini ditulis dengan banyak tantangan, tapi yang paling berat adalah tantangan untuk mengatasi kesedihan, kehilangan dan ketidakadilan, yang saya rasakan tiap kali saya harus menjemput ingatan dan kenangan untuk menyambung bab demi bab. Acap kali air mata menghalangi kelanjutan kalimat tapi tak bisa menghentikan saya dari menulis, untuk terus menulis,” kisah ibu dua anak ini.
Pada akhirnya, kata Suci, halaman terakhir dicapai, dan kelelahan panjang dari riset, mengumpulkan dan membaca bahan dan catatan yang terserak dan dilupakan, akhirnya punah.
“Berganti semangat atau mungkin rasa tak sabar, untuk melihat buku ini sampai di tangan para pembaca.” ujarnya.
“Pembunuhan Munir ini bukan peristiwa kriminal biasa, tetapi pelanggaran HAM berat. Serangan terhadap Munir adalah teror bagi pembela HAM. Terlebih ada penggunaan fasilitas lembaga negara di dalamnya,”. (msi/hen)
Load more