Banyuwangi, Jawa Timur - Dikenal sebagai daerah wisata, Kabupaten Banyuwangi ternyata menyimpan persoalan klasik.
Setiap bulannya, wilayah ujung timur Jawa ini memproduksi sedikitnya 463 janda baru. Status untuk kaum hawa ini dipicu tingginya angka perceraian di Kabupaten Banyuwangi.
Setahun, tembus hingga 5.000 lebih. Parahnya, salah satu pemicunya adalah media sosial (medsos). Tahun 2022, mulai Januari hingga November, kasus perceraian di Banyuwangi tembus hingga 5.557 kasus.
Jumlah tersebut ternyata turun sedikit dibandingkan tahun 2021 sebanyak 5.601 kasus. Dari sekian kasus perceraian, 85 persennya diajukan pihak perempuan.
"Pihak istri paling banyak mengajukan gugatan cerai. Tahun 2022, gugatan istri mencapai 4.160 kasus," kata Panitera Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi Subandi, Senin (5/12/2022).
Hingga November 2022, PA Banyuwangi sudah memutus sebanyak 4.983 kasus perceraian. Artinya, sudah berstatus janda baru atau tak lagi bersuami istri.
"Kalau sisanya masih proses sidang," jelasnya.
Tingginya kasus perceraian di Banyuwangi masih dipicu masalah klasik, yaitu persoalan ekonomi. Jika dipersentase, sekitar 60 persen kasus perceraian akibat persoalan ekonomi.
Yang mengejutkan, selain ekonomi, banyaknya perceraian dipicu aktivitas di medsos. Jumlahnya sekitar 30 persen.
Banyak wanita mengajukan gugatan setelah tergiur pihak ketiga di medsos atau aktivitas negatif lain.
"Penyebab medsos mulai menyumbang cukup tinggi sejak tahun 2010," kata Subandi.
Selain medsos, tingginya perceraian dipicu faktor usia pasangan. Banyak pasangan muda yang memutuskan bercerai lantaran berbagai hal.
Bahkan, perceraian di usia muda trennya naik setiap tahun. Hal ini sejalan dengan tingginya pengajuan dispensasi menikah.
Perceraian di usia muda salah satunya dipicu kurang siap mental di antara pasangan. Sehingga, ketika terjadi konflik rumah tangga memilih diselesaikan dengan perceraian.
"Kurang siap mental yang dominan memicu perceraian usia muda," tutupnya. (hoa/nsi)
Load more