Surabaya, tvOnenews.com - Young Buddhist Association bersama studiagama.id menggelar kajian lintas agama bertema “Kemanusiaan Penuh Perempuan” perspektif agama Islam dan Buddha.
Kajian yang digelar secara virtual melalui platform media sosial ini disiarkan live di Instagram, dengan menghadirkan dua narasumber lintas agama, yaitu Attasilani Gunanandini yang merupakan Ketua Atthasilani Theravada Indonesia (Astinda) dari agama Buddha, dan Dr. Nur Rofiah yang merupakan Pengurus Majelis Musyawarah KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) dari agama Islam.
Pada kesempatan itu, Tokoh Agama Buddha Attasilani Gunanandini menjelaskan perempuan pada masa kehidupan Buddha, apalagi saat itu masih dipengaruhi oleh peradaban sebelumnya, dimana saat itu perempuan dinomor duakan, bukan primer. Namun, sebenarnya saat itu cara pandang Buddhis berbeda dengan konstruksi sosial masyarakat masa itu, karena Buddhis sendiri atau cara pandang agama Buddha melihat bahwa perempuan itu adalah sepenuhnya manusia.
"Nah, manusia dalam konteks agama Buddha berasal dari manu dan usa. Manu itu yang punya pikiran, dan usa itu adalah yang kualitasnya bisa meningkatkan levelnya. Jadi, bisa dikembangkan dalam level yang tanpa batas, baik perempuan maupun laki-laki," kata Attasilani.
Dalam agama Buddha, ada dua jenis kehidupan yang dianjurkan oleh sang Buddha. Pertama, kelompok yang menjalani kehidupan rumah tangga layaknya pasangan suami istri pada umumnya.
Kedua, kelompok yang meninggalkan rumah tangga, tujuannya bukan hanya tidak berumah tangga, tapi punya tujuan spiritual tertinggi yang artinya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
"Pada saat sekarang ini pun, Buddhis sendiri memberikan keleluasaan terhadap peran perempuan dalam memilih kehidupan mereka, mengembangkan potensi mereka mau jadi apa, dan berkarya seperti apa. Tujuannya agar perempuan ini memiliki kebebasan dalam mengembangkan dirinya. Ini sangat baik karena perempuan diposisikan sebagai manusia seutuhnya dalam konteks ajaran Buddha," imbuhnya.
Load more