“Sepertihalnya kebijakan pendidikan gratis dari tingkat terendah hingga tertinggi bagi orang asli Papua sebagaimana tercantum dalam PP, mekanismenya harus dijelaskan secara rinci dalam Perdasi dan Perdasus. Khususnya terkait dengan sumber pendanaan, kebijakan lembaga pendidikan tingginya, dan lain sebagainya. Jika tidak dijelaskan, maka implementasinya akan menuai kesemrawutan akibat ketidaksamaan visi dan misi, jelas Yorrys dalam paparannya.
Yorrys memahami bahwa perubahan kebijakan ini tidaklah mudah dilakukan. Akan banyak penentangan dan penolakanm serta penerimaan. Namun semuanya harus didialogkan dengan komprehensif. Sebab persoalan Papua bukanlah persoalan baru, namun persoalan yang sudah berlangsung selama rentang waktu puluhan tahun. Menyelesaikannnya pun tidak mungkin dalam waktu singkat seperti membalik telapak tangan.
Diketahui, setelah pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, kondisi sosial dan politik di Tanah Papua cenderung mengalami peningkatan eskalasi yang cukup signifikan. Meski dua Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan turunan implementasi dari UU tersebut sudah diterbitkan.
Selain isu tentang Otonomi Khusus Jilid II yang secara umum masih menuai polemik, salah satu poin di dalamnya yang mengamanahkan tentang pemekaran daerah, pun sedang menuai perdebatan di tengah masyarakat. Beberapa hari sebelumnya, ratusan mahasiswa di Jayapura menggelar demonstrasi penolakan atas rencana pemekaran. Demonstrasi yang digelar di tiga titik, yaitu di Kampus Uncen Perumnas III Waena, depan Jalan SPG Teruna Bakti dan Kampus Uncen Abepura sempat melumpuhkan aktivitas masyarakat di Jayapura. Isu pemekaran yang berimplikasi pada lahirnya daerah otonomi baru (DOB) dipandang akan memberi ekses negatif pada orang asli Papua (OAP). (ant/ito)
Load more