Pematangsiantar, tvOnenews.com - Mantan Walikota Pematangsiantar periode 2005-2010, Robert Edison Siahaan, gugat Komisi Pemberantasan Korupsi sebesar Rp45 miliar di Pengadilan Negeri Pematangsiantar, Sumatera Utara.
Lembaga anti rasuah ini digugat karena dianggap telah melakukan penyitaan atau perampasan secara melawan hukum atas tanah dan rumah permanen milik Re Siahaan yang terletak di Jalan Sutomo no 10, Kelurahan Proklamasi, Kecamatan Siantar Barat, Kota Pematangsiantar.
Gugatan mantan orang nomor satu di Kota Pematangsiantar ini di ungkapkan oleh Daulat Sihombing SH MH, selaku kuasa hukum Re Siahaan saat menggelar konfrensi pers di Kantor Pengacara Sumut watch, Di Jalan Sangnawaluh, Kota Pematangsiantar, pada Selasa ( 25/7/2023) sore kemarin.
Menurut Daulat Sihombing, didampingi Miduk Panjaitan selaku kuasa hukum, selain pimpinan KPK RI sebagai tergugat I, turut juga digugat Menteri Keuangan RI, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara cq Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Sumatera Utara, Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Kota Pematangsiantar, sebagai tergugat II.
Selanjutnya, Menteri Pertanahan Nasional RI cq Kepala Kantor Pertanahanan Nasional wilayah Sumatera Utara cq Kepala Kantor Pertanahan Pematangsiantar sebagai tergugat III dan ahli waris alm Esron Samosir sebagai pemenang lelang, yang beralamat di Kota Pematangsiantar.
“Gugatan tersebut tercatat di Pengadilan Negeri Pematangsiantar dalam Register Perkara Nomor : 73/Pdt.G/2023/PN Pms dan sidang pertama segera akan dilangsungkan pada hari Rabu tanggal 23 Agustus 2023, pukul 10.00 WIB”, ungkap Daulat.
Selanjutnya masih Menurut Daulat Sihombing, mantan Hakim Adhoc pada PN Medan ini, Tergugat I, II, III dan Alm Esron Samosir secara sendiri- sendiri maupun bersama-sama telah melakukan penyitaan, perampasan, jual beli secara lelang, pengalihan hak serta penerbitan sertifikat pengganti secara tanpa hak dan melawan hukum atas tanah dan bangunan milik RE Siahaan sebagaimana tersebut dalam SHM No. 302/ Desa/ Kel. Proklamasi, Surat Ukur Tgl 30 – 12 – 2004, No. 29/Proklamasi/2004, luas 702 M2 an. Ir Robert Edison Siahaan, yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Pematangsiantar.
“Perkara ini berawal saat Tergugat I melakukan penyitaan, perampasan atas tanah dan bangunan milik Penggugat dalam hal ini RE Siahaan dengan alasan karena tanah dan bangunan milik Penggugat merupakan barang sitaan, rampasan terkait dengan perkara tindak pidana korupsi atas nama RE Siahaan dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1602 K/Pid. Sus/2012 jo. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan Nomor : 18/Pid.Sus/2012/PT. Mdn jo. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan Nomor : 37/Pid.Sus. K/ 2011/PN Mdn”, tambahnya.
Kemudian, setelah disita, Tergugat I meminta Tergugat II untuk menjualnya secara lelang yang kemudian jatuh kepada Esron Samosir selaku pembeli lelang dengan harga Rp6.031.535.000.
Dalam proses lelang, Tergugat III atas permintaan Tergugat I menerbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah Nomor : 35/SKPT/2016, tanggal 3 Mei 2016 atas tanah dan bangunan milik Penggugat dan kemudian atas permintaan Alm Esron Samosir, menerbitkan sertifikat pengganti, serta menghancurkan rumah permanen milik Penggugat dan menggantinya dengan bangunan 4 (empat) pintu ruko berlantai 3 (tiga).
Menurut aktivis NGO/ Ornop Perburuhan ini, tindakan penyitaan/ perampasan, jual beli secara lelang, pengalihan hak dan penerbitan sertifikat pengganti yang dilakukan Para Tergugat, merupakan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
Alasannya, pertama karena putusan perkara RE Siahaan baik mengenai pidana pokok maupun pidana tambahan uang pengganti telah tuntas dieksekusi dengan pidana penjara 12 tahun yang meliputi pidana pokok 8 tahun dan pidana tambahan uang pengganti selama 4 tahun penjara karena RE Siahaan tidak membayar pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp7.710.631.000.
Kedua, Surat KPK RI berupa Surat Perintah Penyitaan Dalam Rangka Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Nomor : Sprin.PPP-01/01-26/Ek.S/05/2015, tanggal 29 Mei 2015, mengutip secara berbeda atau tidak sesuai dengan putusan Pengadilan.
Ketiga, tanah dan bangunan milik Penggugat dalam SHM No. 302 Tahun 2004, tidak merupakan barang sitaan atau rampasan dari penyidikan, penuntutan dan peradilan dan juga tidak merupakan bagian dari objek putusan pengadilan.
Keempat, tindakan Para Tergugat melanggar atau bertentangan dengan asas kepastian hukum. Kelima, harga lelang atas tanah dan bangunan milik Penggugat sebesar Rp6.031.535.000 tidak patut dan tidak adil terutama dibandingkan harga pasar sebesar Rp12,5 miliar hingga Rp15 miliar.
Berdasarkan hal tersebut, Daulat dalam petitum gugatannya menuntut beberapa hal diantaranya agar Majelis Hakim menyatakan tindakan Tergugat I yang menerbitkan Surat Perintah Penyitaan Dalam Rangka Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Nomor : Sprin.PPP- 01/ 01-26/Ek.S/05/2015, tanggal 29 Mei 2015 dan Berita Acara Penyitaan Dalam Rangka Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Nomor : BA-01/26.Ek.3/06/2015, tertanggal 10 Juni 2015, dengan mengutip amar putusan pidana tambahan uang pengganti atas nama Robert Edison Siahaan secara berbeda dan tidak sesuai dengan putusan Pengadilan adalah perbuatan melawan hukum.
Menyatakan tindakan Para Tergugat berdasarkan Surat Perintah Penyitaan Dalam Rangka Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Nomor : Sprin.PPP- 01/ 01-26/Ek.S/05/2015, tanggal 29 Mei 2015 melakukan penyitaan/ perampasan, jual beli secara lelang, pengalihan hak dan penerbitan sertifikat pengganti atas tanah dan bangunan milik Penggugat, merupakan perbuatan melawan hukum.
Menyatakan Surat Perintah Penyitaan Dalam Rangka Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Nomor : Sprin.PPP- 01/ 01-26/Ek.S/05/2015, tanggal 29 Mei 2015 dan Berita Acara Penyitaan Dalam Rangka Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Nomor : BA-01/26.Ek.3/06/2015, tertanggal 10 Juni 2015, tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Menyatakan SHM No. 302 Tahun 2016 an. Esron Samosir yang kemudian dipecah menjadi SHM Nomor : 468/2017, SHM Nomor : 469 Tahun 2017, SHM Nomor : 470 Tahun 2017, SHM Nomor : 471 Tahun 2017, tidak sah dan tidak berkekuatan hukum.
“Kami meminta majelis hakim agar menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar secara sekaligus kerugian Penggugat berupa kerugian materil sebesar Rp15.250.000.000 yang meliputi kompensasi kerugian atas hilangnya tanah dan bangunan milik Penggugat dan biaya pengurusan perkara, ditambah kerugian immateril sebesar Rp30.000.000, total keseluruhan sebesar Rp45 Miliar 250 Juta”, tambah Daulat.
Ditempat yang sama, RE Siahaan menyebutkan, kasus korupsi yang menyeretnya pada tahun 2011 lalu telah di laluinya dan menjalani proses hukuman penjara selama 12 tahun, yakni hukuman pidana pokok selama delapan tahun, ditambah empat tahun karena tidak membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp7 Miliar.
“Tanah dan bangunan yang sebelumnya disita oleh KPK ini tidak tercantum dalam objek perkara penyidikan, tuntutan hingga putusan Pengadilan, terkait tindak pidana kasus korupsi yang dialamatkan kepada saya”, sebut Robert Siahaan.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Mantan Walikota Pematang Siantar Robert Edison Siahaan di rutan Cipinang pada tahun 2011 silam, Re Siahaan ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus korupsi pengelolaan dana bantuan sosial pada anggaran pendapatan dan belanja daerah, serta dana pemeliharaan di dinas pekerjaan umum pada tahun anggaran 2007.
Selanjutnya, pada sidang Pengadilan tindak pidana korupsi tahun 2012 silam, Re Siahaan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi Apbd Kota Pematang Siantar pada dinas PU tahun 2007 senilai Rp8,3 miliar. Serta melakukan korupsi dari anggaran Dinas Sosial pada 2007 senilai Rp2,2 miliar, sehingga total kerugian Negara yang dilakukan Re Siahaan sekitar Rp10,5 miliar.
Selain dikenakan pidana penjara, Re Siahaan juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp100 juta, kemudian juga diwajibkan pula membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp7 Miliar lebih. (dsg)
Load more