Jakarta, tvOnenews.com - Pulau Rempang, nama yang sedang ramai diperbincangkan publik hingga para elite politik. Hal itu tak lain karena adanya konflik relokasi sebagai dampak dari proyek Rempang Eco-City.
Lantas bagaimana potret kehidupan waraga Pulau Rempang di tengah kofnlik saat ini, meskipun awalnya mereka mengaku hidup dengan damai.
Memang, mulai hidup baru bagi warga Pulau Rempang, tentu bukanlah hal yang mudah, apabila terjadi relokasi terhadap mereka. Terlebih bagi mereka yang merupakan penduduk asli, lahir dan besar di Pulau Rempang.
Bahkan, Pulau Rempang bukanlah tempat tinggal semata, melainkan wilayah bersejarah bagi Indonesia. Bila berbicara sejarah, pasti teringat dengan kata-kata mutiara Bung Karno, yakni Jas Merah, 'Jangan sekali-sekali melupakan sejara.'
Pasalnya, di Pulau Rempang ini banyak sejarahnya, mulai dari Jembatan Barelang, yang memiliki nilai sejarah kuat bagi negeri Indonesia.
Jembatan Barelang adalah saksi sejarah penanda ada kehidupa di Pulau-pulau kecil yang menghubungkan Kota Batam dengan Lima Pulau.
Yakni, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Sekoto, Pulau Rempang dan Pulau Galang Baru.
Berdasarkan informasi yang diterima tvOnenews, kehidupan manusia di pulau-pulau tersebut selama ini damai dan telah ada sejak lama. Bahkan, sebelum kehidupam di Pulau Batam itu sendiri ada.
Nah, untuk luas Pulau Rempang ini, memiliki hampir 17 ribu hektar dan Pulau Rempang ini merupakan pulau terluas dengan potensi alam yang memukau.
Maka tak heran, bila jumlah penduduk di Pulau Rempang termasuk yang terbanyak di antara 4 pulau lainnya. Namun kondisinya saat ini, dalam pengakuan seorang warga setempat, Sudirman begitu berbeda karena bakal adanya relokasi.
Seperti diketahui, relokasi lahan tersebut akibat dari konsep pengembangan Pulau Rempang Eco City. Di mana proyek itu telah dirancang sejak 2024 silam.
Maka, sejak itu pula, riak-rial penolakan masyarakat mulai menggeliat hingga saat ini. Hal ini tak lain, karena sudah nyaman tinggal di Pulau Rempang dan di pualu tersebut juga mereka mengais rezeki dari hasil nelayan.
Salah seorang warga setempat, Sudirman menuturkan dengan kata-kata yang terbata-bata, bahwa hari ini pemerintah melupakan sejarah.
Hal itu dia katakan, lantaran adanya konflik relokasi terhadap ribuan warga Pulau Rempang.
"Bagaimana tidak, hunian tetap hingga janji kompensasi bagi warga, masih sebatas ucapan manis belaka. Apalagi proges pembangunan hunian tetap itu, baru sebatas pembukaan jalan," pungkas Sudirman.
Bahkan Sudirman mengaku, sejak mendiami Pulau Rempang bertahun-tahun silam, warga sekitar mencari nafkahnya dengan mencari ikan dan bertani
"Dengan kebiasan itu warga mencari kehidupan dan sudah mendarah daging. Kini semua berubah, warga selalu didera kecemasan, karena harus melakukan apa? bila nantinya direlokasi ke hunian sementara?" ujarnya.
Hal senada juga disampaikan seorang warga bernama Nova, bahwa saat ini, pemerintah gencar melakukan sosialisasi dan membujuk warga agar bersedia mendaftar untuk direlokasi.
"Bahkan mirisnya, pemerintah memberikan batas waktu hingga 20 September bagi warga untuk mendaftar. Tentunya, harus memenehui persyaratan yang ditentukan," kata Nova.
"Salah satunya adalah surat peguasaan tanag 10 tahun secara terus menerus. Namun bila warga tak memiliki salah satu persyaratan itu, ke mana mereka akan pergi?" tanyanya. (wna/aag)
Load more