Medan, tvOnenews.com - Puluhan perempuan dari kalangan ibu-ibu yang menjadi korban dampak polusi emisi karbon Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat berunjuk rasa mendesak pemerintah mencabut izin operasi PLTU serta meminta pemerintah serius atasi krisis iklim.
Komitmen emisi nol persen pada 2060, sebagai janji Indonesia mengatasi dampak perubahan iklim menjadi bagian penting bersamaan dengan pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Sebab itu, puluhan ibu-ibu ini meminta agar para kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mendeklarasikan komitmen kuat untuk mengatasi perubahan iklim dan transisi energi bersih di negara Republik Indonesia.
“Saat ini bakal calon presiden dan wakil presiden kita ketahui sibuk dengan kampanyenya. Tetapi, belum ada satu pun yang peka akan krisis iklim yang saat ini terjadi. Oleh karena itu, kami mendesak agar para capres dan cawapres peduli terhadap iklim dan membuat kebijakan-kebijakan yang pro iklim serta melakukan transisi energi bersih yang berkelanjutan dan berkeadilan," kata Rimba Zait saat berorasi pada aksi bertajuk 'Power Up' yang berlangsung di Titik Nol Kota Medan, Minggu (05/11/2023).
Berdasarkan perhitungan Tim Nexus, empat unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu berkapasitas 800 Megawatt ini per harinya membakar 11 ribu ton bahan bakar batu bara dan menghasilkan 1.426,2 ton limbah sisa pembakaran yang mencemari lingkungan dan berdampak pada menurunya ekonomi masyarakat.
Dari hasil penelitian Yayasan Srikandi Lestari, dalam kurun waktu 2022 menyebutkan, ada 3 sektor yang diduga paling berdampak akibat beroperasinya PLTU Pangkalan Susu yakni perikanan, pertanian dan kesehatan.
Sebanyak 659 nelayan kini mengalami penurunan hasil tangkap ikan dan menjadi korban menurunnya mata pencaharian sebanyak 70 persen. Para nelayan ini memilih untuk menjual sampan-sampannya lantaran tidak mampu menutupi utang-piutang akibat dampak dari pencemaran limbah maupun polusi udara dari PLTU.
Load more