Riau, tvOnenews.com - Munculnya polemik PKS Komersial atau pabrik sawit tanpa kebun dianggap akan selesai apabila pemerintah justru mewajibkan semua PKS tanpa kecuali untuk bermitra dengan petani. Dengan bermitra, maka semua pasokan TBS dipastikan akan berasal dari petani mitranya tanpa terkecuali.
Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Gulat Manurung mengatakan justru ini adalah peluang Kementerian Pertanian (Kementan) untuk lebih berperan melakukan penertiban melalui mandatori kemitraan lewat memperkuat Permentan 01 tahun 2018 melalui revisi.
“Jika pabrik sawit komersial (PKS Tanpa Kebun) ditertibkan sebagaimana dalam surat edaran (SE) Dirjenbun dengan mewajibkan PKS terintegrasi dengan kebun inti (PKS Konvensional), justru akan memberi dampak negatif kepada petani swadaya. Jika perusahaan PKS Komersial tidak mampu menyiapkan kebun intinya tentu akan berujung dicabutnya izin pabrik tersebut dan ini akan berakibat fatal dan tragis bagi petani sawit swadaya yang sangat tergantung ke PKS Komersial ini. Jadi menurut saya Surat Edaran Dirjenbun nomor 245/2024 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati, Walikota dari Aceh sampai Papua, tidak tepat dan tidak melihat permasalahan yang sebenar-benarnya,” tegas Doktor Lulusan Universitas Riau ini.
Dikatakan Gulat bahwa masalah saat ini (perbedaan antara pabrik sawit konvensional dengan pabrik komersial) sangat teramat sederhana dan untuk kedepannya PKS yang baru akan berdiri silahkan mengikuti OSS, itu saja kok repot.
“Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Pak Prabowo, sudah berkali-kali mengatakan bahwa untuk kepentingan rakyat tidak dapat ditawar-tawar dan ditempatkan diatas segalanya, jadi jangan hanya melihat sebelah pihak jika rakyat ada disana, industri hulu-hilir sawit beda jauh dengan industri pertambangan seperti batubara misalnya. Ada 6,87 juta hektar kebun sawit rakyat yang menghidupi 17 juta KK (belum termasuk anak istri) Petani sawit dan pekerja sawit, jadi harus sangat hati-hati dalam mengambil kebijakan ataupun regulasi,” harap Gulat.
“Usul kami ini sangat menguntungkan semua pihak (pabrik sawit konvensional, Komersil, Petani Sawit Swadaya dan Plasma) yaitu adanya kepastian pasokan TBS dan pabrik sawit yang selama ini tertib melakukan kemitraan (Plasma-Inti) sehingga tidak pusing dengan ‘godaan’ pabrik sawit Komersil. Kalau tidak dimandatorikan, maka petani swadaya yang luasnya 93% dari 6,87 juta hektar akan menjadi korban sebagaimana sudah berlangsung pada 6 tahun terakhir (sejak Permentan 01 tahun 2018 di syahkan),” tuturnya, Selasa (23/4/2024).
Bukan tanpa sebab, Gulat menjelaskan faktanya selama ini harga TBS petani swadaya dibeli oleh pabrik sawit selalu di bawah harga acuan dinas perkebunan di 22 Provinsi APKASINDO. Meski harus diakui bahwa sering juga terjadi pabrik sawit komersil yang justru membeli TBS Petani Swadaya dengan harga yang lebih tinggi dari harga Disbun dan ini membuat pabrik konvensional pusing karena plasmanya jadi tergoda ke PKS Komersil, lanjut Gulat.
“Kalau yang benar-benar petani sawit, pasti merasakan kebermanfaatan PKS jenis ini, seperti misalnya tidak perlu antri berhari-hari di PKS, namun terkadang lebih sibuk bagi yang hanya ‘merasa petani’ “ujar Gulat.
Gulat menilai bahwa apabila terdapat keinginan membatasi PKS itu jelas bertujuan monopoli. Gulat pun menepis apabila kehadiran pabrik Komersil kerap mengganggu pabrik konvensional karena mengambil TBS pekebun mitra-plasmanya.
“Rawatlah dengan baik kemitraannya supaya jangan ‘bercerai’, merawat itu bisa dalam bentuk transparansi, harga yang stabil, tidak ada potongan, timbangan pabrik siap selalu ditera, hutang petani plasma jelas ujungnya dan lain-lain yang membuat kemitraan itu semakin mesra bukan bernostalgia," lanjut Gulat.
“Tidak bodoh investor bangun pabrik sawit jika pasokan TBS tidak memungkinkan saat itu (dulu), nah saat ini tinggal plotkan saja mana mitranya, lalu ikat dengan kemitraan dan umumkan dan jika masih menerima TBS yang bukan dari mitranya, langsung cabut izinnya (tentu setelah Permentan 01 2018 diperkuat), itu saja Dirjen Industri Agro dan Dirjenbun kok repot-repot,” ujar Gulat lagi.
Gulat menegaskan bahwa Kementan tidak hanya bertugas melindungi yang 7% saja (petani plasma) sebagaimana Permentan 01/2018 hanya menyebut petani bermitra (plasma dan mitra swadaya).
Aturan ini akan menjadi petani swadaya-mandiri (non mitra) menjadi ‘tumbal’ empuk seperti selama ini.
“Cukup sudah selama ini petani swadaya dipecundangi, Kementan dan Kementerian Perindustrian harus melindungi kedua tipelogi petani sawit (plasma dan swadaya) melalui mandatori tadi yaitu semua PKS wajib bermitra,” ucap Gulat.
Gulat justru berharap Kementan mengemban amanah negara untuk menolong petani sawit swadaya khususnya yang luasnya 93% dari total luas perkebunan rakyat (6,87 juta ha).
“Anda bisa bayangkan betapa memprihatinkannya nasib petani sawit swadaya dimana selisih harga Disbun rerata Rp500-1000/kg TBS, belum lagi kejamnya potongan timbangan wajib di PKS rerata 5-15% dan ini sudah berlangsung puluhan tahun. Mari buka mata dan telinga,” pungkas Gulat. (aag)
Load more