“Saya sedang di kos bersama teman-teman. Setelah gempa besar, bapak kos menyuruh kami naik ke lantai dua, bahkan ke atap rumah tetangga. Dari atas, kami menyaksikan air bah menghantam, membawa mobil, pohon, dan puing-puing rumah,” ujarnya.
Namun, sepupunya yang tinggal di Lampulo bersama bayi berusia dua tahun tidak selamat. Kehilangan itu masih membekas dalam ingatannya. “Sepupu saya mungkin lari saat air datang, tetapi tidak berhasil menyelamatkan diri,” ujarnya.
Kini, Nelly bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu SMA di Banda Aceh. Kenangan tsunami terus ia bawa sebagai pengingat untuk selalu bersyukur. Nelly, bukan satu-satunya yang datang membawa kenangan dan doa. Lina (45), warga Ulee Kareng Banda Aceh, juga tidak pernah berhenti berziarah ke kuburan massal Ulee Lheue.
"Setiap peringatan tsunami pasti ke sini. Hari-hari biasa, kalau lewat, saya juga menyempatkan diri mampir," katanya.
Lina kehilangan ibu dan adiknya yang tinggal di Punge Jurong saat tsunami melanda. Ia hanya memiliki keyakinan jenazah orang-orang tercinta dimakamkan di kuburan massal tersebut. “Mayat mereka tidak pernah ditemukan, tetapi saya yakin mereka dimakamkan di sini,” katanya.
Lina masih mengingat perbincangan terakhirnya dengan sang ibu yang sedang mempersiapkan acara ulang tahun ke-26 adiknya, Firdaus. “Pagi itu, ibu saya menelepon, bilang ada gempa, dan meminta saya ke sana karena ada kenduri,” ujarnya.
Namun, setelah gempa susulan dan tsunami, Lina mendapati semuanya sudah lenyap. “Pernah ada tetangga yang bilang melihat adik saya berdiri di simpang, tersenyum saat air datang. Itulah terakhir kali dia terlihat,” kata Lina.
Load more