Masih ingat dengan roman Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnja Kapal van der Wijk (TKvDW)? Ya, kedua roman tersebut merupakan karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang akrab disapa Hamka.
Hamka yang merupakan putra dari ulama besar di Minangkabau Haji Abdul Karim Amrullah ini, ternyata pernah dituding palgiator oleh Lemabaga Kesenian Rakyat (Lekra).
Dilangsir dari buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, tuduhan Hamka sebagai plagiator, muncul dari tulisan Abdullah Sp di surat kabar Bintang Timur pada tanggal 7 dan 14 September 1962.
Tulisan itu menganggap roman TKvDW karya Hamka merupakan terjemahan dari karya terjemahan Al-Manfaluthi berjudul Magdalena. Sedangkan Magdalena merupakan saduran dari karya Alphonse Karr yang berjudul Sous Le Tilleuls (Di Bawah Naungan Pohon Tillia).
Tidak hanya sampai di situ saja, serangan bernada tuduhan itu pun datang dari kalangan sastrawan di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Yakni, sebuah lembaga di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mirisnya, tuduhan itu bermaksud untuk menjatuhkan keulamaan Hamka. Namun Hamka tidak berkomentar atas tuduhan itu.
Sementara, dilangsir dari buku Alam Terkembang Jadi Guru, keulamaan Hamka malah tampak pada romannya TKvDW. Ia mengangkat pokok permasalahan tentang adat perkawinan masyarakat Minangkabau.
Hal itu tak lain bertujuan untuk meluruskan pemikiran dan sikap orang tua yang mengaku Islam. Akan tetapi, malah tidak berjiwa Islam melainkan bersikap mengutamakan adat yang berlaku di Minangkabau.
Padahal, adat Minangkabau berfalsafah adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. Arti dari syarak berssendikan kitabullah, yaitu adat yang mengikuti apa yang diajarkan kitabullah (kitab Allah) yaitu Alquran.
Memang, keulamaan Hamka tak dapat diragukan lagi, apalagi sebagai sastrawan terkemuka di Indonesia. Sebab, di masanya ia dikenal sebagai pengarang roman hingga saat ini. Bahkan, dua buah romannya terkenal, yang bertajuk Di Bawah Lindungan Ka’bah dan TKvDW tersebut.
Tidak hanya piawai dalam membuat karya sasatra, Hamka juga pernah sebagai pimpinan majalah Panji Masjarakat di Medan. Dilangsir dari buku Sedjarah Sastra Indonesia Modern, ia mendirikan majalah tersebut, bertujuan untuk memajukan pengetahuan dan peradaban berdasarkan pandangan Islam.
Sebelum mendirikan majalah Panji Masjarakat di kota Medan dan terkenal sebagai sastrawan di Indonesia serta tokoh ulama. Ternyata masa kecilnya Hamka mengemban pendidikan sekolah rendah di tanah kelahirannya.
Kemudian ia merantau ke Jawa dan melanjutkan menuntut ilmu agama di Mekah. Setelah itu, ia kembali ke tanah air, lalu menjadi guru agama dan tokoh Islam di Sumatera Timur.
Load more