Tanggamus, Lampung - Cerita pilu menghiasi perjalanan hidup seorang pedagang kemplang dan kerupuk yang kesehariannya menjelajahi wilayah Tanggamus demi menjajakan dagangannya.
Manusia mana yang tak terketuk hatinya jika mendengar kisah pria bernama Agus Wahyudi itu. Sebab, dirinya mesti berjalan kaki menempuh jarak puluhan kilometer menyusuri wilayah Tanggamus sembari menggendong wadah kemplang guna mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya.
Lebih mengharukannya lagi, ia berjalan puluhan kilometer dengan kondisi penglihatannya yang tak lagi berfungsi.
Tertulis di wadah tersebut 'Perhatian! Untuk pengendara roda dua dan roda empat, harap hati-hati! Depan anda tunanetra menjual: kemplang; kerupuk Rp 6.000 per bungkus'.
Tulisan itu bukanlah sebagai upayanya untuk menarik simpati orang, melainkan sebagai peringatan bagi para pengendara untuk berhati-hati saat hendak melewati atau berpapasan dengannya.
Tatkala ditemui di Jalan Lintas Barat (Jalinbar) Sumatera Kecamatan Talang Padang, terlihat banyak warga yang menyerbu dagangannya.
Acapkali, beberapa warga terlihat membeli kemplang dan kerupuknya lebih dari satu bungkus. Terdengar dari percakapan mereka yang menilai jika kerupuk dan kemplang dagangannya Agus terasa nikmat.
Warga Kecamatan Pagelaran, Pringsewu itu bercerita, wilayah Tanggamus menjadi lokasi yang sudah biasa ia jelajahi dalam menawarkan dagangannya.
Keceriaan di raut wajah Agus saat diwawancara, seolah mengisyaratkan hubungannya yang tak lekat dengan keluhan. "Tadi berangkat jalan kaki jam 7, tapi beda-beda tempat. Tadi pagi di Kota Agung, terus ke Gisting, dan ini sampai Talang Padang," cerita Agus Wahyudi, Senin (27/6/2022).
Kendati ia berjalan kaki dalam menjual kemplang dan kerupuk, bukan berarti Agus juga berjalan kaki dari rumahnya yang berlokasi di Kecamatan Pagelaran menuju Tanggamus.
Ia diantarkan oleh keponakannya menggunakan sepeda motor dari Kecamatan Pagelaran, Pringsewu menuju Kabupaten Tanggamus. Setibanya di Kabupaten Tanggamus, Agus pun diturunkan di Kecamatan Kota Agung.
Kecamatan Kota Agung menjadi titik awal perjalanannya menjajakan makanan ringan itu. "Berangkatnya, tadi dianterin pake motor sama keponakan, terus ditinggalin. Saya keliling jualannya ke Gisting, Talang Padang, dan tadi juga ke Kota Agung," kisah Agus.
Kemplang dan kerupuk yang ia jual, didapatkannya dari produsen di wilayah Teluk Betung, Bandar Lampung. "Kerupuk kemplangnya beli Rp4.500 itu ngambil sendiri di Teluk Betung. Jualnya Rp6.000," kata pria berkulit sawo matang itu.
Agus mengaku, tiap harinya, selalu ada saja yang membeli barang dagangannya. 120 bungkus kemplang dan kerupuk yang ia bawa hari ini pun, sudah hampir ludes terjual. "Alhamdulillah, bawanya 120 bungkus, sudah mau habis. Ini sudah sore, pulang di jemput di jalan sama keponakan saya, kan nanti dia liat saya," tuturnya.
Sembari menunggu keponakannya menjemput, ayah dua orang anak itu mengisahkan, dirinya pernah menjadi pengamen. "Sebelumnya, kerjanya jadi musisi, ranger keyboard. Kadang ngamen di panggung, kadang ngamen di pasar," kata dia.
Hal itu ia lakukan kala penglihatannya masih normal. Kebutaan yang ia derita bukanlah cacat bawaan lahir, melainkan akibat terserang penyakit glukoma beberapa tahun silam. "Bukan bawaan lahir, tetapi karena penyakit glukoma, sehingga total gak bisa lihat. Kalau berobat, sudah kemana-mana, Jakarta, Bandung, Yogyakarta," tuturnya.
Apesnya, hingga saat ini, belum ada obat yang benar-benar ampuh untuk dapat menyembuhkan penyakit glukoma. "Karena, glukoma bukan hanya di Indonesia, mancanegara juga belum ada obatnya," ungkap Agus.
Belum ditemukan obatnya, tak lantas membuat Agus putus asa. Harapan tetap ia gantungkan demi meraih kesembuhan dan kehidupan yang lebih baik. Ada keluarga kecil yang masih membutuhkan kehadirannya sebagai sosok kepala keluarga, suami, dan ayah.
Barangkali, sebuah adagium yang berbunyi 'harum menghilangkan bau' amat sesuai disematkan pada kisah Agus ini. Melalui kisahnya, Agus seakan menampar manusia normal tanpa cacat yang bermalas-malasan dalam mencari sesuap nasi.
Dewasa ini, cukup banyak ditemui orang-orang yang kondisi fisiknya lebih baik dari Agus, tetapi hidup hanya dengan berpangku tangan. Mereka hanya mengharapkan uluran tangan orang lain, tanpa mau berusaha.
Tak sedikit pula yang mencari jalan lain dalam mengais rezeki dengan melakukan tindakan kriminal. Ada pula yang justru memilih untuk mengakhiri hidupnya lantaran putus asa akibat tekanan hidup yang begitu berat.
Agus, pria penderita penyakit glukoma yang harus merelakan penglihatannya menghilang, justru memilih untuk tidak berpangku tangan. Ia terus bekerja dengan giat guna memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. (Puj/Nof)
Load more