Sleman, DIY - Dalam beberapa tahun terakhir kawasan hutan Indonesia mengalami penyusutan. Selain pembalakan liar, ada faktor lain yang menyebabkan hal itu terjadi yakni kebakaran hutan.
Namun harus diakui tidak mudah bagi petugas untuk melakukan pemantauan dan pemadaman dini kebakaran. Kondisi geografis, medan lahan gambut yang luas, kurangnya akses jalan, terbatasnya sumber daya manusia, hingga minimnya fasilitas membuat kebakaran hutan sulit dipadamkan dengan cepat.
Berangkat dari permasalahan itu, tim peneliti Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik UGM mengembangkan pesawat tanpa awak untuk deteksi dini kebakaran hutan. Pesawat yang diberi nama Elang Caraka itu dirancang dengan kemampuan terbang selama enam jam dengan jarak tempuh 200 km untuk melakukan pemantauan wilayah secara autonomous.
"Operator dapat mengendalikan pesawat tanpa awak dari jarak jauh serta melihat rekaman gambar secara langsung melalui monitor yang ada di Ground Control Station," ujar ketua tim peneliti Gesang Nugroho Kamis (6/1/2022).
Dijelaskan Gesang, pesawat tanpa awak Elang Caraka sengaja dikembangkan sebagai solusi pencegahan meluasnya kebakaran hutan di Indonesia. Pasalnya saat hutan terbakar, sulit menemukan titik api yang memicu kebakaran.
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah alat pendeteksi dini yang mampu melihat titik api di hutan. Tujuannya untuk menghindari meluasnya kebakaran hutan.
"Ketika hutan terbakar, jarang ada yang mengetahui titik terbakar hutan tersebut," ucapnya.
Menurut Gesang, selama ini cara yang dilakukan untuk mendeteksi titik api di hutan dengan melakukan patroli udara menggunakan helikopter. Namun penggunaan helikopter membutuhkan biaya yang tinggi dan hanya bisa dilakukan siang hari.
"Ketika terjadi kebakaran di malam hari, api sudah terlanjur membesar pada keesokan hari sehingga sulit untuk dipadamkan," terangnya.
Lebih lanjut Gesang menjelaskan, Elang Caraka memiliki bentang sayap sepanjang 3,6 m dan badan pesawat 1,92 m. Pesawat ini juga dilengkapi kamera thermal untuk mengirimkan rekaman udara secara langsung dan dapat dilihat di darat.
Adapun mesinnya memiliki kapasitas 30 cc untuk menerbangkan pesawat dengan bobot 20 kg tersebut. Sementara untuk melakukan lepas landas dan mendarat, diperlukan landasan sepanjang 90 m.
Cara kerja pesawat ini menurut Gesang adalah menggunakan sensor cerdas Elektrikal Nose (Enose). Sensor Enose akan mendeteksi adanya asap yang ditunjukkan dengan meningkatnya grafik output dibanding kondisi normal tanpa asap.
"Enose bekerja seperti halnya hidung manusia, menggunakan larik sensor gas yang mampu mendeteksi asap tersebut," katanya.
Gesang menambahkan, pesawat tanpa awak hasil rancangannya juga telah melakukan uji terbang hingga dapat melakukan misi secara sempurna. Dengan hadirnya Elang Caraka ini diharapkan mampu mendeteksi dini kebakaran hutan secara cepat sebelum api meluas.
"Selain itu, biaya operasional pesawat tanpa awak Elang Caraka juga jauh lebih murah dibandingkan menggunakan helikopter. Sehingga diharapkan kehadiran pesawat tanpa awak Elang Caraka mampu menekan angka karhutla yang ada di Indonesia," pungkasnya. (Andri Prasetiyo/Buz).
Load more