Yogyakarta, tvOnenews.com - Berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Jogja Memanggil melakukan demonstrasi menolak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang rencananya akan diterapkan pemerintah mulai 1 Januari 2025 mendatang.
Unjuk rasa dimulai dari Parkiran Abu Bakar Ali. Selanjutnya, massa berjalan kaki di sepanjang Jalan Malioboro hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Senin (30/12/2024).
Dalam aksi tersebut, massa mendorong pemerintah untuk menerapkan PPN 5 persen. Secara hukum perundang-undangan, penerapan tersebut dinilai sangat memungkinkan untuk diberlakukan di Indonesia.
Disebutkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan Pasal 7 ayat 3 Bab IV bahwa tarif PPN berada dikisaran 5-15 persen. Peraturan ini dapat diterapkan melalui Perppu jika Presiden, Prabowo Subianto lebih memihak rakyat menengah ke bawah, alih-alih memihak segelintir golongan orang-orang kaya di Indonesia.
"Kajian ekonominya menyusul, yang penting berpihak dulu. Karena sekarang penentunya ada di Presiden. Beliau akan mendukung siapa, ditentukan oleh ketegasannya sebelum 1 Januari 2025," ujar Surastri, Juru Bicara Aliansi Jogja Memanggil.
Menurut data dari Badan Survei Statistik (BPS), daya beli masyarakat menurun sejak Mei hingga September 2024. Di sisi lain, terjadi gelombang PHK besar-besaran di sektor industri formal yang berdampak pada meningkatnya jumlah rakyat Indonesia yang menganggur.
Sementara, Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa terdapat 80.000 pekerja formal yang di PHK sepanjang 2024. Jumlahnya meningkat hampir 16.000 dibanding 64.855 orang yang ter-PHK pada 2023 lalu. Serta, hampir 60.000 lebih banyak dari 2022 dengan jumlah PHK 25.114 orang.
Jumlah PHK tersebut diperkirakan akan terus bertambah menyusul dengan adanya potensi 60 perusahaan yang terancam melakukan PHK massal. Kondisi tersebut berpotensi akan bertahan lama bahkan memburuk jika pemerintah memaksakan kenaikan tarif PPN 12 persen.
Aliansi Jogja Memanggil juga menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia agar mengepung kantor-kantor pajak di daerahnya masing-masing.
Senada, Anggota Divisi Aksi dan Propaganda, Dewan Mahasiswa Yustisia Fakultas Hukum UGM, Niazi tegas menolak kenaikan PPN 12 persen.
Menurutnya, kenaikan PPN tersebut akan menambah susah mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Terlebih, mereka masih mengandalkan penghasilan orang tua.
"Bisa dibilang mahasiswa belum punya penghasilan, dia hanya mengandalkan penghasilan orang tua mereka. Jadi akan menambah kesusahan bagi mahasiswa itu sendiri," kata dia.
Apabila kebijakan tarif PPN 12 persen diberlakukan, maka akan menimbulkan efek domino bagi masyarakat. Melihat kondisi penghasilan masyarakat saat ini masih rendah. Begitu pula dengan UMP yang tergolong rendah.
Maka dari itu, tingginya tarif PPN tidak akan memberikan kebaikan melainkan kesengsaraan bagi masyarakat.
Tentunya, juga akan berdampak terhadap gaya hidup mahasiswa setiap bulannya. Di Yogyakarta, mahasiswa membutuhkan biaya hidup per bulan setara dengan UMK sekitar Rp 2 juta. Itu sudah termasuk biaya kos namun belum biaya pendidikan.
"Jadi akan mengganggu biaya pengeluaran mahasiswa. Dalam akademik, mereka juga butuh alat tulis. Sementara non akademik butuh makan dan minum serta penunjang lainnya seperti kuota internet," ungkapnya. (scp/buz)
Load more