Sleman, tvOnenews.com - Empat mahasiswa dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengungkap cerita dibalik permohonan gugatan Presidential Threshold (PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Tsalis Khoirul Fatna, Faisal Nasirul Haq dan Rizki Maulana Syafei.
Jerih payah mereka akhirnya membuahkan hasil. Pada Kamis (2/1/2025), MK mengumumkan keputusannya untuk menghapus ketentuan PT.
Enika mengatakan, bahwa permohonan gugatan PT merepresentasikan pendapat personal bukan institusi kampus. Meski, mereka berkuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
"Representasi (gugatan PT) ini secara individu pribadi bukan dari pendapat institusi UIN Sunan Kalijaga," tegasnya saat konferensi pers, Jumat (3/1/2025).
Dijelaskan, kajian PT dimulai sejak 2023. Bermula ketika mereka tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) di kampus tersebut. Fokus kajiannya mengenai pendekatan konstitusi dan respon isu ketatanegaraan.
Kemudian, mereka mengikuti debat yang diselenggarakan oleh Bawaslu RI hingga tahap babak final menggunakan mosi PT. Dalam Pasal 222 UU Pemilu menyatakan pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilu yang punya minimal 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada Pemilihan Legislatif DPR sebelumnya.
Namun, muncul adanya keputusan yang menyatakan bahwa pemilih juga bisa punya legal standing. Berbekal materi dan kajian tersebut, mereka akhirnya menyiapkan draft terkait permohonan PT pada pertengahan Februari 2024.
Disebutkan, ada tujuh kali sidang yang telah mereka jalani sejak Februari 2024 sampai Januari 2025.
"Hampir setahun berproses di MK pada akhirnya sebagaimana harapan kita semua ada angin segar bagi demokrasi Indonesia bahwa 32 putusan MK sebelumnya menyatakan tidak diterima dan ditolak. Kemudian, permohonan ke 33, MK mengabulkan keinginan dari masyarakat Indonesia," terang Enika.
Ia juga mengungkap kenapa permohonan gugatan PT pasca Pilpres. Karena semakin dekat dengan Pilpres, tekanan politik akan semakin luar biasa. Tapi ia ingin menekankan bahwa perjuangannya adalah perjuangan akademik.
"Dalam permohonannya tersebut, kami menegaskan ingin kajian-kajian yang dilakukan oleh MK tidak mendapat pengaruh buruk secara politik. Melainkan kajian akademik, substansi hukum," ungkapnya.
Enika menambahkan bahwa pengajuan PT juga berdasarkan fakta bahwa selama ini sebagai masyarakat atau pemilih dianggap sebagai objek bukan subjek demokrasi.
Terlebih sebagai seorang mahasiswa, mereka melihat representasi capres cawapres tidak sesuai referensinya.
Ia mencontohkan, dari ketiga pasangan capres cawapres, seberapa banyak yang membahas soal lingkungan dan perempuan. Jika dibuka kontentasi lebih luas, harapannya ada capres-cawapres perempuan yang bisa membawa isu-isu domestik ke ranah nasional.
Namun, jika menggunakan presidential threshold 20 persen maka akan sangat sulit sekali karena tokoh capres cawapres yang diusung hanya itu-itu saja.
"Yang kami perjuangkan hak kami selaku pemilih yang tidak dapat memilih calon yang sesuai representasi atau keinginan kami," pungkasnya. (scp/buz)
Load more