Yogyakarta, DIY - Sekelompok pelajar asal Yogyakarta terlibat aksi saling serang di wilayah Bintaran Mergangsan Yogyakarta, pada Sabtu (21/5/2022) lalu. Akibatnya satu orang mengalami luka bacok di bagian punggung dan pinggang.
Insiden ini dipicu lantaran persoalan kecelakaan. Padahal sebelumnya kedua belah pihak yang terlibat telah berdamai. Namun kembali saling tantang lewat media sosial.
Perkara kecelakaan itu selesai dan didamaikan secara kekeluargaan. Hanya saja, korban merasa kurang puas lantas menghubungi tersangka dan menantangnya untuk adu jotos.
"Lokasi perkelahian di Jalan Bintaran sekitar pukul 05.00 Wib. Kelompok korban sudah menunggu dan setelah kelompok tersangka tiba, perkelahian langsung terjadi," kata Kapolsek, Rabu (1/6/2022).
Kelompok tersangka yang datang saat itu berjumlah tujuh orang. Mereka saat itu membawa senjata tajam jenis celurit. Kelompok korban kemudian ciut dan langsung kabur. Namun, KB sempat terjatuh dan dianiaya oleh rombongan tersangka. Ia dibacok sebanyak dua kali mengenai bagian punggung dan pinggang.
"Korban langsung mengadu kepada Polsek bersama orang tuanya. Setelah melakukan penyelidikan, sehari setelahnya para tersangka kami tangkap di kawasan Umbulharjo," kata Rachmadiwanto.
Para tersangka dikenakan pasal 170 KUHP atau pasal 351 KUHP Juncto pasal 55 dan 56 KUHP subsider pasal 80 ayat 2 juncto pasal 76 C UU Nomor 35 Tahun 2014, juncto pasal 55 dan 56 KUHP subsider pasal 80 ayat 1 juncto pasal 76 C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (PK Bapas) Kanwil Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) DIY, Farid Edy Santosa yang hadir dalam kesempatan itu menjelaskan, proses hukum sampai dengan saat ini masih terus berlangsung. Kedua kelompok secara sadar saling tantang via media sosial dan pihak Bapas tetap melakukan pendampingan kepada kedua belah pihak.
"Inti masalah ini bukan penganiayaan murni. Ada yang kalah jumlah, kalah persiapan. Mereka secara sadar tantang-tantangan. Di KUHP ada perang tanding, yang satu kalah senjata akhirnya muncul korban. Proses hukum mengikuti apa yang digariskan sistem peradilan pidana anak (SPPA)," kata Farid.
Dia menjelaskan, jika dalam hukuman yang menjerat para tersangka pada kasus ini dibawah tujuh tahun maka penyelesaian dapat dilakukan dengan upaya diversi. Namun apabila jerat hukum para tersangka di atas tujuh tahun, maka kasus itu dapat dibawa ke pengadilan dengan menggelar sidang formal.
"Putusan diversi tergantung korban. Kalau korban tidak siap, tidak mau diversi, kasus itu tetap akan berlanjut ke pengadilan," ujarnya. (Nur/Buz)
Load more