Sleman, DIY - Pemerintah Nigeria tertarik mendatangkan alat dan teknologi konstruksi dari Yogyakarta untuk membangun perumahan di sana. Sebab kebutuhan rumah di negara benua Afrika tersebut terbilang sangat tinggi karena besarnya jumlah penduduk.
"Pada prinsipnya Nigeria adalah negara dengan jumlah penduduk yang besar, kebutuhan perumahan masih sangat tinggi, teknologi yang diperlukan adalah teknologi yang bisa membangun perumahan secara massif dengan biaya yang murah," kata Usman usai melihat konstruksi rumah 3D printing pertama di Indonesia di Bangunkerto, Turi, Sleman, Selasa (7/6/2022).
Data dari Bank Dunia mencatat, Nigeria membutuhkan sebanyak 22 juta perumahan layak untuk warganya. Sebab pertumbuhan penduduk di sana sangat cepat dan menjadi negara dengan populasi terbesar di Afrika.
Negara di Afrika Barat itu ingin membangun 1 juta rumah layak huni tiap tahun. Oleh karenanya mereka membutuhkan teknologi konstruksi yang bisa diadopsi untuk mempercepat pembangunan perumahan.
"Kami terbuka dengan teknologi-teknologi baru. Jika akhirnya bisa membuat pembangunan perumahan lebih cepat dan lebih murah, teknologi ini mungkin bisa diadopsi," ungkapnya.
Teknologi yang dikembangkan oleh sebuah startup di Yogyakarta itu memanfaatkan alat robotik dan juga material maju sebagai konstruksi.
"Teknologi 3D printing biasa itu menggunakan plastik, kalau dalam teknologi 3D printing konstruksi ini kita menggunakan bahan dari semen campuran dengan pasir dan juga air dan beberapa bahan adiktif," ujar CEO Autoconz yang membangun rumah tersebut, Raja Rizqi Apriandy.
Dijelaskan Raja, teknologi tersebut terdiri dari beberapa elemen. Mulai dari elemen material, elemen mesin, elemen software, dan elemen teknik konstruksi.
"Elemen mesin panjangnya 10 meter, lebarnya 10 meter dan tingginya 5 meter. Bisa membangun rumah hingga tipe 49 meter persegi dengan tinggi 5 meter. Mesin ini masih bisa diperluas dan diperlebar menjadi 20x20 meter sehingga rumah yang dibangun menjadi lebih luas," bebernya.
Teknologi yang ia ciptakan ini diklaim memiliki keunggulan dibanding dengan membangun rumah secara konvensional. Selain pengerjaan yang lebih cepat, biaya yang dikeluarkan juga lebih hemat.
Raja mencontohkan, untuk membangun rumah tipe 36 secara konvensional dibutuhkan waktu antara 1,5 - 2 bulan. Sedangkan jika menggunakan teknologi 3D printing, waktu yang dibutuhkan maksimal hanya selama 3 pekan.
Sementara dari segi biaya, bisa memangkas kebutuhan biaya hingga 30 persen.
"Karena di konstruksi itu time is money, makin lama kita di lapangan maka makin mahal pula biayanya. Kita memotong di situ bisa 10-15 persen, ketika optimal bisa sampai 30 persen," terangnya.
Raja menambahkan, meskipun tidak lagi menggunakan batu bata untuk dindingnya, tapi teknologi ini tidak akan menggantikan peran tukang. Namun kemampuan tukang justru di-upgrade, yang biasanya alat manual tapi sekarang memakai mesin otomatis.
"Kita tetap akan butuh tukang, kita akan tetap butuh pekerja harian, hanya saja kita memberikan tools yang lebih canggih agar mereka safety dan produktivitasnya bisa lebih baik dan meningkat," urainya.
Rumah 3D printing ini menurut Raja juga bisa dibangun di segala kondisi tanah. Bahkan rumah tersebut telah memenuhi standar tahan gempa.
"Rumah yang telah kami bangun di Turi itu sudah mengikuti peraturan standar gempa SNI-nya indonesia. Menggunankan tulangan, menggunakan fondasi batu kali, sehingga kalau dibandingkan dengan rumah konvensional tidak kalah kuatnya dan bahkan bisa jadi lebih kuat," pungkasnya. (apo/ebs).
Caption : Dubes Nigeria untuk Indonesia Usman Ari Ogah (baju putih) saat melihat rumah 3D printing pertama di Indonesia di Turi, Sleman (7/6/2022).
Load more