Jakarta, 10/6 - Rencana pemerintah untuk mengerek pajak pertambahan nilai (PPN) menuai polemik. Pasalnya, pemerintah juga sedang menyiapkan skema PPN terhadap sembilan bahan pokok. Hal tersebut tertuang dalam rencana revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Sementara itu, sembako adalah obyek yang tidak dikenakan pajak, sebagaimana diatur Peraturan Menteri Keuangan 116/PMK.010/2017, yang berbunyi bahwa barang kebutuhan pokok itu adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Anggota DPR RI Mufti Anam mengkritisi rencana pemerintah mengenakan PPN pada sembako karena akan memukul balik momentum pemulihan ekonomi yang kini perlahan mulai tertata.
"Ini kan ekonomi sedang punya momentum pemulihan, punya momentum untuk rebound. Tantangan-nya ada pada upaya menahan laju kenaikan kasus aktif COVID-19. Daya beli perlahan tumbuh. Kalau kebutuhan pokok dikenakan PPN, berarti pemulihan ekonomi dipukul mundur," kata Mufti, Rabu (9/6).
Mufti menyebut minimal ada dua dampak buruk bila rencana mengenakan PPN terhadap sembako itu terwujud. Pertama, meningkatkan inflasi. "Jelas bahwa PPN akan membuat harga barang naik, inflasi terjadi. Kalau inflasi meningkat, otomatis daya beli warga makin tertekan. Kalau daya beli warga minim, ekonomi tidak akan bergerak," kata Mufti
Dampak kedua, membuat upaya pengentasan kemiskinan semakin sulit dilakukan. Dia mengingatkan bahwa konsumsi terbesar masyarakat miskin tersedot untuk kebutuhan pangan. ”Intinya, kalau harga pangan naik, maka angka kemiskinan akan naik. Ini harus dipikirkan betul oleh pemerintah," kata Mufti.
hal senada disampaikan anggota DPR RI Mukhammad Misbakhun. Ia meminta Kementerian Keuangan agar melakukan reformasi perpajakan dengan memantapkan sistem pemungutan berbasis teknologi dibandingkan harus menaikkan tarif pajak.
"Jadi, untuk meningkatkan pendapatan pajak, dengan membangun sistem berbasis teknologi informasi yang lebih mumpuni," kata Misbakhun.
Politisi Partai Golkar ini memandang tarif pajak yang naik akan membuat masyarakat berpikir ulang untuk melakukan konsumsi yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional. "Jika tarif dinaikkan, skala ekonomi bisa menurun. Dengan transaksi yang menurun, maka pemasukan pajak juga akan menurun," ucap Misbakhun.
Apalagi, tambah dia, kondisi perekonomian saat ini belum sepenuhnya pulih, sehingga pada akhirnya berpotensi menyebabkan kontraksi berkepanjangan.
Pilihan Terakhir
Rencana kebijakan PPN sembako juga mendapat sorotan sejumlah elemen masyarakat. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KPRP) mengingatkan bahwa rencana mengenakan PPB untuk sembako seharusnya menjadi pilihan terakhir karena sangat membebani rakyat kalangan bawah.
"Mestinya PPN sembako jadi pilihan terakhir dari banyak opsi. Misalnya mengutamakan penerimaan PPN dari sektor lain yang selama ini belum masuk," kata Koordinator KPRP, Said Abdullah, di Jakarta.
Menurut dia, rencana mengenakan skema PPN sebagai sebuah niat untuk memperkuat penerimaan negara dari pajak adalah hal yang baik-baik saja, tapi yang perlu menjadi pengingat jangan sampai membuat situasi masyarakat makin susah terutama kelompok masyarakat kelas bawah.
Ia mengingatkan bahwa sembako yang dikonsumsi masyarakat sebagian bahan bakunya dihasilkan dari petani dalam negeri, sehingga pengenaan PPN bisa berdampak ke mereka.
"Bisa jadi (dengan pengenaan skema PPN sembako) di tingkat petani sebagai produsen bahan baku kena, di konsumen juga kena, dan tentu saja kita perlu ingat juga, petani dan kelompok produsen pangan skala kecil di pedesaan juga adalah net consumer," paparnya.
Sebelumnya, ramai diberitakan pemerintah sedang menyiapkan skema PPN terhadap sembilan bahan pokok, mencakup penghapusan sejumlah barang kebutuhan pokok dari kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebut wacana penerapan skema multitarif PPN memungkinkan pengenaan pajak terhadap barang-barang esensial menjadi lebih murah.
“Kita ingin memberikan fasilitas yang tepat sasaran, kita ingin justru memberikan dukungan bagi akses publik terhadap barang barang yang dibutuhkan. Yang selama ini mungkin dikenai pajak 10 persen, nanti bisa dikenai 7 persen atau 5 persen,” kata Yustinus dalam diskusi Info Bank secara daring, Kamis (3/6).
Yustinus menyampaikan tidak tepat menyimpulkan bahwa pemerintah akan menaikkan atau menurunkan tarif PPN, tetapi tujuan utamanya adalah mengurangi penyimpangan atau distorsi. Melalui skema multitarif, barang-barang yang tidak dibutuhkan masyarakat atau hanya dikonsumsi masyarakat kelompok atas akan dikenakan pajak yang lebih tinggi.
“Itu sekarang sedang dirancang, jadi lebih kepada sistem PPN kita lebih efektif dan juga kompetitif menciptakan keadilan dan juga berdampak baik kepada perekonomian,” jelas Yustinus.
Ia menyampaikan momentum pandemi COVID-19 yang tidak memungkinkan untuk mendorong maupun mengejar penerimaan pajak secara agresif, menjadi saat yang tepat bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan mengenai tarif PPN. Pemerintah pun, lanjutnya, tak akan terburu-buru menerapkan kebijakan tersebut.
Ancaman Ketahanan Pangan
Sementara itu, Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengungkapkan dampak rencana pemerintah untuk memberlakukan PPN untuk sembako dapat mengancam ketahanan pangan.
“Rencana ini merupakan sebuah langkah yang tidak saja akan meningkatkan harga pangan dan karenanya mengancam ketahanan pangan tetapi juga akan berdampak buruk kepada perekonomian Indonesia secara umum,” katanya di Jakarta.
Felippa menyatakan dampak tersebut adalah meningkatkan harga pangan, mengancam ketahanan pangan, hingga mempengaruhi perekonomian Indonesia secara keseluruhan karena akan mempengaruhi konsumsi masyarakat.
Ia mengatakan pengenaan PPN pada sembako mengancam ketahanan pangan terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah sehingga lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harganya mahal.
"Menambah PPN akan menaikkan harga dan memperparah situasi apalagi di tengah pandemi ketika pendapatan masyarakat berkurang,” ujarnya.
Ia menjelaskan pangan berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga sementara bagi masyarakat berpendapatan rendah belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka. Oleh sebab itu, ia menegaskan pengenaan PPN pada sembako tentu akan lebih memberatkan bagi golongan tersebut. (ito)
Load more