Jakarta, tvonenews.com - Dalam rentang waktu lima hari terakhir, tiga bank di Amerika Serikat rontok. Perbankan itu adalah, Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank dan terakhir adalah Signature Bank.
Kejatuhan dimulai dari kolapsnya Silvergate Capital, salah satu bank besar dalam industri kripto. Silvergate mengumumkan pada hari Rabu waktu setempat (8/3/2023) bahwa mereka sedang dalam proses menghentikan operasi dan melikuidasi bank mereka. Silvergate Bank mengumumkan likuidasi sukarela dan tidak mencari kurator FIDC.
Lalu Silicon Valley Bank, salah satu bank pemodal terbesar untuk para start-up, kolaps. Pada hari Rabu (8/3/2023), bank masih beroperasi dan pada hari Jumat (10/3/2023), SVB yang berusia 40 tahun itu ditutup regulator AS dan depositonya disita.
Menyusul kolapsnya Silicon Valley Bank dan Silvergate Capital, regulator AS pada hari Minggu (12/3/2023) waktu setempat atau Senin pagi di Asia menutup Signature Bank, Bank terbesar di industri crypto, dalam upaya untuk mencegah penyebaran risiko sistemik, meskipun pemerintah AS pada awalnya menentang bailout SVB dan Signature.
Otoritas setempat, yakni Departemen Keuangan AS, Federal Reserve, dan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), menutup Signature Bank pada Minggu (12/3/2023) kemarin. Langkah itu dilakukan dua hari setelah Silicon Valley Bank (SVB) California runtuh karena para deposan bergegas menarik dana-dana mereka.
Regulator negara bagian New York juga berdalih “untuk melindungi para depositor,” menempatkannya di bawah kurator Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). FDIC diketahui juga mengambil alih SVB.
Signature Bank merupakan bank komersial layanan lengkap yang didirikan pada 2001 di New York, AS.
Sebenarnya, pada tahun ini, Signature Bank masuk dalam jajaran "2023 America’s Best Banks" versi Forbes, di peringkat ke 73.
Berdasarkan laporan keuangan terakhir, per 31 Desember 2022, Signature Bank mempunyai aset US$110,36 miliar, turun 6,82 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Sementara itu, dari sisi pinjaman, Signature Bank mencatatkan peningkatan 14,53 persen yoy menjadi US$74,29 miliar per 31 Desember 2022.
Dalam menyalurkan pinjamannya, Signature Bank banyak menyasar bisnis fund banking dengan nilai pinjaman US$27,73 miliar, kemudian properti dengan nilai US$11,9 miliar, dan multi keluarga dengan nilai US$19,51 miliar.
Dari sisi pendanaan, Signature Bank telah mencatatkan simpanan US$106,13 miliar pada 2022, susut dibandingkan simpanan tahun sebelumnya US$88,59 miliar. Untuk posisi simpanannya, Signature Bank cukup banyak mengandalkan simpanan dengan jenis aset digital.
Signature Bank memang sudah merambah sektor ini sejak 2018, saat bank-bank lain di AS sulit memberikan layanan. Saat itu, bank asal New York ini merekrut tim yang mempunyai kemampuan andal di bidang kripto. Signature Bank tidak meminjamkan dana di ruang kripto.
Hubungan Signature Bank dengan klien di ruang kripto terbatas pada deposito dalam mata uang dolar AS saja. Namun, sejak 2018 hingga awal 2022 simpanan kripto ini berkembang pesat. Apalagi sejak aset kripto booming pada 2021, Signature Bank mendapatkan berkah. Porsi simpanan kripto di Signature Bank mencapai lebih dari seperempat dari total simpanannya.
Akan tetapi, sejak awal 2022 aset kripto menjadi terpuruk. Harga kripto runtuh, hingga disebut sebagai masa crypto winter.
Akhir 2022, Signature Bank kemudian berupaya untuk menyusutkan simpanan terkait kriptonya sebesar US$8 miliar.
Seiring dengan ditutupnya Signature Bank oleh regulator AS, sejumlah perusahaan kripto pun berupaya mengamankan dananya.
Lain halnya dengan Signature Bank, Silvergate Bank mengumumkan likuidasi sukarela dan tidak mencari kurator FIDC. Meskipun FIDC melindungi simpanan perbankan, namun perlindungannya hanya mencakup hingga $250.000 saja.
Saham perusahaan Silvergate Capital turun lebih dari 36% pada pascaperdagangan bursa.
Didirikan pada tahun 1988, Silvergate memulai bisnis kripto pada tahun 2013. Bank tersebut juga mengoperasikan bisnis pergudangan hipotek, tetapi mengumumkan pada bulan Desember 2022, bahwa divisi tersebut akan ditutup, mengutip lingkungan suku bunga yang meningkat dan penurunan volume hipotek.
Minggu lalu, bank menghentikan Silvergate Exchange Network (SEN), platform pembayaran kripto dan salah satu penawaran paling populer. Jaringan tersebut memungkinkan transfer sepanjang hari antara investor dan bursa kripto, tidak seperti layanan transfer bank konvensional, yang sering memakan waktu berhari-hari untuk proses settlement.
Silvergate memiliki aset sedikit lebih dari US$ 11 miliar, lebih rendah dibandingkan lebih dari $114 miliar di Signature. FTX, bursa kripto yang baru-baru ini bangkrut, adalah pelanggan utama Silvergate.
Silvergate telah berjuang selama berbulan-bulan. Selain melakukan pemecatan terhadap 40 persen dari tenaga kerjanya pada bulan Januari, perusahaan tersebut melaporkan kerugian bersih hampir US$ 1 miliar pada kuartal keempat setelah keluarnya pelanggan pada akhir tahun lalu yang membuat deposito pelanggan turun 68 persen menjadi US$ 3,8 miliar.
Untuk menutupi penarikan, Silvergate harus menjual surat utang senilai US$ 5,2 miliar.
Perusahaan pergi ke Federal Home Loan Bank untuk tambahan utang US$ 4,3 miliar. Pinjaman itu menarik perhatian dari anggota parlemen seperti Senator Elizabeth Warren. Menurutnya, kasus Silvergate mengekspos risiko pasar kripto ke dalam sistem perbankan tradisional.
Melansir dari Forbes, tekanan luas pada sektor cryptocurrency yang menyebabkan banyak kebangkrutan, terutama termasuk FTX klien profil tinggi bank. Patut diketahui, Silvergate Capital adalah induk perusahaan dari perusahaan Silvergate Bank
Silvergate dikenal sebagai bank yang ramah crypto. Terbukti dari salah satu gebrakannya menyediakan pinjaman senilai US$205 juta kepada MacroStrategy, anak perusahaan MicroStrategy untuk beli Bitcoin (BTC).
Silvergate mengatakan bahwa likuidasi sukarela bank adalah “jalur terbaik ke depan” mengingat “perkembangan industri dan regulasi terbaru”. Kegagalan FTX memicu volatilitas baru di pasar kripto. Silvergate juga mengungkapkan bahwa sedang diselidiki oleh Departemen Kehakiman AS.
Silvergate melaporkan kerugian sebesar $1 miliar (£840 juta) untuk kuartal keempat tahun 2022 setelah investor berebut untuk menarik lebih dari $8 miliar dalam deposito, memaksa bank mengalami kerugian saat menjual aset untuk menutupi biaya penarikan.
Silicon Valley Bank (SVB) kolaps pada Jumat (10/3/2023) setelah 48 jam bank tersebut bangkrut dan mengalami krisis modal. Salah satu faktor kebangkrutan adalah kenaikan suku bunga agresif The Fed selama setahun terakhir.
Keruntuhan SVB memicu kepanikan perusahaan modal ventura utama yang menyarankan perusahaan untuk menarik uang mereka dari bank. Maklum, SVB merupakan bank yang berspesialisasi dalam pembiayaan startup dan berstatus bank AS terbesar ke-16 berdasarkan aset.
Kegagalan SVB menjadi yang terbesar selepas Washington Mutual bangkrut pada 2008. Saat itu, peristiwa kebangkrutan memicu krisis keuangan yang melumpuhkan perekonomian selama bertahun-tahun.
Berdiri sejak 1983, bank ini digagas oleh pengusaha Silicon Valley bernama Bob Medearis dan Bill Biggerstaff.
Mulanya, mereka mencari cara untuk melayani komunitas perusahaan rintisan alias startup di bidang teknologi, yang pada saat itu tidak memiliki akses ke pembiayaan utang dan layanan perbankan.
CEO pertama SVB adalah Roger Smith. Bob Medearis, Bill Biggerstaff, dan Roger Smith membuka kantor pertama Silicon Valley Bank di North First Street di San Jose, California, AS.
Pada awal berdirinya bank tersebut, aset perusahaan hanya berada di angka US$18 juta. Di bawah kepemimpinan Smith (1983-1992), perusahaan melayani pasar yang diabaikan industri jasa keuangan, di mana saat itu diharuskan menunjukkan aset dan laba demi dianggap layak mengajukan kredit.
SVB lantas melantai di bursa National Association of Securities Dealers Automated Quotations Stock Market (Nasdaq) pada 1987 dengan kode SIVB. Perusahaan kemudian menyelesaikan penawaran umum perdana (IPO) setahun setelahnya.
Dikutip dari situs resmi perusahaan, perusahaan melakukan ekspansi di AS dengan membuka 15 kantor baru sejak 1996. Hingga kini, SVB tercatat mempunyai 29 kantor internasional yang tersebar di Amerika Serikat, India, Inggris, Israel, Kanada, Cina, Jerman, Hong Kong, Irlandia, Denmark, dan Swedia.
Sejak 2011, SVB dipimpin oleh Greg Becker.
Di bawah kepemimpinannya, SVB menjalankan empat bisnis utama yang melayani sektor inovasi, yakni perbankan komersial global, modal ventura dan investasi kredit, perbankan swasta dan manajemen kekayaan, dan perbankan investasi.
Pada kuartal IV 2022, SVB melaporkan aset sebesar US$212 miliar setara Rp3.257 triliun (asumsi kurs Rp15.366 per dolar AS). Sementara itu, jumlah deposito di SVB mencapai sekitar US$175,4 miliar atau setara Rp2.712 triliun.
Di lain sisi, SVB melaporkan US$74 miliar atau setara Rp1.137 triliun dalam bentuk pinjaman dan US$342 miliar atau Rp5.255 triliun lainnya merupakan dana klien.
Kini, Pemerintah Amerika Serikat (AS) memutuskan melakukan bail out Silicon Valley Bank yang bangkrut. Dengan begitu, semua uang nasabah sekitar Rp2.712 triliun yang nyangkut kini bisa kembali.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen menginstruksikan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) untuk menjamin semua uang nasabah SVB bisa diakses mulai hari ini. Bahkan, AS menjamin uang nasabah yang tidak diasuransikan dalam kejadian bank gagal. (ito)
Simak berita tvonenews lainnya di google news
Load more