tvOnenews.com - Upaya pemerintah memberlakukan larangan impor di bawah USD100 atau sekitar Rp 1,5 juta, hanya melalui jalur udara, ditentang oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
"Kami akan somasi Kementerian Perdagangan terkait Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik tersebut. Bahkan bila disahkan, MAKI akan layangkan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung (MA)," kata Boyamin Saiman, Koordinator MAKI.
Menurut Boyamin, pemberlakuan aturan tersebut tidak akan efektif bila pelarangan hanya untuk moda transportasi udara.
"Larangan itu harus diberlakukan untuk jalur udara, laut, dan darat," tegasnya.
Apabila rencana perubahan Permendag 50/2020 disahkan dan hanya mengatur pelarangan via udara, MAKI akan mengajukan uji materi dengan petitum, "Ketentuan pelarangan impor barang di bawah USD100 berlaku untuk semua jenis pengangkutan udara, laut dan darat".
Boyamin menyatakan, pihaknya memahami pelarangan tersebut dibuat dalam rangka melindungi produk-produk UMKM, sebagaimana rekomendasi dari Kementerian Koperasi dan UMKM.
"Secara prinsip, MAKI mendukung perlindungan kepada UMKM sehingga mampu bersaing, termasuk menyerap tenaga kerja lokal. Namun, bila larangan impor hanya diberlakukan melalui jalur udara saja, tidak akan efektif. Sebab, barang-barang importasi di bawah USD100 melalui laut dan darat dalam praktiknya dijual dalam platform marketplace (penjualan online) dalam negeri sehingga harga makin murah. Importasi melalui udara dikarenakan biaya logistik mahal, membuat harga lebih mahal dibandingkan via laut sehingga melarang impor barang via udara tidak akan cukup membantu UMKM," terangnya.
Kalau mau membantu UMKM, sambungnya, maka larangan importasi harus diberlakukan secara tegas dan konsekuen untuk barang-barang dibawah USD100, melalui udara, laut, dan darat.
Boyamin menjelaskan, selama ini kerap terjadi pengangkutan barang impor tanpa proses resmi, seperti crossborder lewat udara. Opsi lain adalah pengangkutan barang akan melalui importasi yang sulit diawasi dan sulit dikendalikan alias penyelundupan.
Sebagai gambaran, kata Boyamin, crossborder itu berbasis transportasi udara (air-freight) dan dikenakan bea logistik (cost logistics) yang tinggi hingga USD10 per kg dari awal pengangkutan (firstmile) hingga ke akhir pengangkutan (lastmile).
"Biaya logistik crossborder yang mahal menjadikan hanya barang spesifik yang dapat dijual. Biaya ini juga yang telah membuat pergeseran pola bisnis para penjual luar negeri. Saat ini, banyak pedagang dari luar negeri cenderung berkerjasama dengan penjual lokal, melakukan importasi lewat laut (sea freight). Setiba barang di Indonesia, maka kemudian dijual di platform lokal dengan harga murah. Justru ini yang bisa mematikan bisnis UKM," tegasnya.
Boyamin menambahkan, ketika terjadi pembatasan 18 jenis barang pada tahun 2020 oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi dan UKM, termasuk busana Muslim. Faktanya, di e-commerce lokal barang yang sama masih dijual sampai saat ini dan tidak dilarang. Harganya jualnya pun jauh lebih murah dari harga crossborder (via udara). Artinya, tanpa crossborder barang itu tetap diimpor karena tingginya permintaan. Bahkan saat ini harga barang ex-impor itu bisa makin murah karena dikirim via laut (sea-freight) dan tentunya menjadi makin laris.
Dirinya meminta Kemendag dan KemenkopUKM cermat membedakan antara crossborder dan barang impor yang telah dijual lokal.
"Disinilah letak masalahnya yaitu, presepsi crossborder adalah pembunuh UMKM. Padahal sejatinya importasi tidak terkontrol atau black market adalah musuh utama UMKM," tandasnya.
Menurut Boyamin, kebijakan pelarangan saja yang tidak diiringi dengan pengawasan tidak akan efektif. Apalagi rencana mematikan crossborder yang transparan dan patuh pajak tentu akan secara tidak langsung mengarahkan semua importasi menjadi sulit dikontrol dan cenderung ilegal. Sejatinya musuh bersama penyebab bangkrutnya UMKM dan industri lain sejak dulu adalah importasi ilegal atau black market yang berakibat 'predatory pricing'.
Sementara itu, menurut peneliti Indef Wahyu Askara, plaftorm lokal e-commerce menjual 90% barang impor dan hal ini telah disebut juga dalam banyak kajian, tanpa ada mempertanyakan apakah importasinya sesuai aturan dan terdaftar dengan deskripsi barang, kuantiti, HScode yang sesuai layaknya importasi crossborder. Ini tentu lebih berbahaya daripada jalur resmi yang accountable seperti crossborder via udara.
Untuk kebaikan negara dan mencegah kerugian negara akibat penyelundupan, MAKI meminta rencana perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 haruslah mencakup secara tegas pengangkutan udara, laut dan darat atas barang importasi dibawah USD100.
Load more