Jakarta, tvOnenews.com - Wacana untuk memperkuat Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak menjadi Badan Penerimaan Negara (BPN), ternyata tidak akan berdampak signifikan pada penerimaan negara.
Hal tersebut diungkapkan Ekonom Utama Departemen Riset Ekonomi dan Kerja Sama Regional Bank Pembangunan Asia (ADB) Arief Ramayandi di Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Meski begitu, ia mengatakan pembentukan BPN mungkin untuk dilakukan, sebagaimana yang terjadi pada pemisahan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pemisahan tersebut akan membuat tanggung jawab instansi makin mengerucut sehingga konsentrasi pengelolaan akan lebih terfokus.
“Mereka cuma perlu konsentrasi pada memungut penerimaan negara. Di sisi lain, ada Kementerian Keuangan yang lebih fokus pada fiskal. Jadi, karena mereka fokus pada satu pekerjaan saja, seharusnya mereka bisa lebih efektif,” ujar dia.
Tergantung Kementerian Keuangan
Lebih lanjut Arief Ramayandi menilai urgensi bagi Indonesia untuk membentuk BPN bergantung pada Kementerian Keuangan.
Bila lembaga bendahara negara merasa perlu untuk memusatkan fokus pada kebijakan fiskal, maka urgensi pembentukan BPN menjadi lebih tinggi. Sementara, bila Kementerian Keuangan merasa tekanannya belum cukup besar, maka urgensinya menjadi lebih rendah. “Jadi, itu tergantung Kementerian Keuangan,” tuturnya.
Sebelumnya, pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berencana membentuk BPN setelah dilantik.
Nantinya, DJP yang selama ini berada di bawah Kementerian Keuangan akan lepas dari kementerian tersebut dan sebagai penggantinya, akan dibentuk BPN yang bertanggung jawab langsung ke presiden.
Pendirian BPN ditargetkan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 23 persen. (ant)
Load more