Jakarta, tvOnenews.com - Aturan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera terus menuai penolakan dari berbagai lapisan masyarakat.
Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) menyayangkan tidak dilibatkannya buruh sebelum pembahasan program Tapera.
Padahal, Tapera katanya ditujukan untuk memberi manfaat untuk para peserta yang kebanyakan dari kalangan pekerja termasuk buruh dan pekerja mandiri.
"Kami menyayangkan karena niatan baik pemerintah untuk melihat kebutuhan hunian bagi buruh itu sangat penting, tidak dibarengi dengan cara-cara yang tepat. Dalam pembuatan PP 21 tahun 2024 ini tidak diawali dengan proses konsultasi tripartit dialog sosial yang bagus," kata Presiden Konfederasi Sarbumusi, Irham Ali Saifuddin kepada tvOnenews.com, Jumat (31/5/2024) sore.
"Pelibatan buruh saya kira sangat penting dalam hal apa pun menyangkut penyusunan regulasi ketenagakerjaan. Dalam konteks Tapera, tidak ada unsur buruh sama sekali dalam BP Tapera," imbuhnya.
Diketahui, peserta Tapera nantinya wajib membayarkan iuran sebesar 3% dari pendapatan atau gaji/upah per bulan untuk pembiayaan perumahan.
Sarikat Buruh Muslimin Indonesia menilai, penghitungan yang ada di peraturan pemerintah tentang Tapera juga tidak jelas dasar penghitungannya.
Secara nominal, tidak dijelaskan secara rinci rumah seperti apa dan apa yang akan didapatkan pekerja nantinya.
Skema penyediaan rumah melalui skenario hipotek konvensional atau penyediaan rumah bersubsidi jauh lebih baik dan masuk akal karena bisa langsung dinikmati oleh pekerja.
Oleh karena itu, Irham menyarankan kepada pemerintah untuk program pemenuhan kebutuhan hunian untuk buruh melalui dua strategi.
“Pertama, optimalisasi fungsi BPJS Ketenagakerjaan melalui program manfaat layanan tambahan (MLT) yang di dalamnya mencakup rumah buruh serta perluasan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang inklusif, termasuk bagi buruh informal,” kata Irham.
“Kedua, melalui penguatan program perumahan rakyat oleh negara melalui skema pembiayaan khusus atau skema khusus untuk buruh dengan penghasilan rendah,” tambahnya.
Solusi tersebut dianggap lebih visible dibanding dengan mengumpulkan dana dari buruh di depan dan baru akan diambil setelah sekian tahun.
Terlebih, tidak ada jaminan pasti terhadap risiko instabilitas ekonomi di masa depan dan adanya public distrust terhadap pengelolaan dana publik yang sebelumnya banyak terjadi praktik korupsi.
“Ini belum lagi mempertimbangkan kenaikan lahan dan bahan bangunan dalam 10-30 tahun mendatang, sehingga bisa jadi dana yang diiur buruh melalui Tapera tidak akan ada nilainya,” imbuh Irham. (rpi)
Load more