"Permasalahan lain adalah dana Tapera rawan dikorupsi, serta ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana," lanjutnya.
Selain aksi menolak PP Tapera, isu lain yang diangkat dalam aksi ini adalah Tolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) Mahal, Tolak KRIS BPJS Kesehatan, Tolak Omnibuslaw UU Cipta Kerja, dan Hapus OutSourching Tolak Upah Murah (HOSTUM).
Pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih baik, kini menjadi beban yang menghimpit akibat Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal. Akibatnya, bagi anak-anak buruh, mimpi untuk meraih pendidikan tinggi menjadi semakin sulit dengan biaya yang terus melambung.
Terkait Kamar Rawat Inap Standar (KRIS), buruh berpendapat kebijakan ini justru menurunkan kualitas layanan kesehatan dan akan semakin memperburuk pelayanan di rumah sakit yang sudah penuh sesak. Buruh menuntut pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan memastikan pelayanan kesehatan yang adil dan layak bagi seluruh rakyat.
Penolakan terhadap Omnibuslaw UU Cipta Kerja juga disuarakan. Beleid yang diklaim akan mendorong investasi ini, bagi para buruh, adalah simbol ketidakadilan yang melegalkan eksploitasi.
Fleksibilitas kerja melalui kontrak dan outsourcing yang semakin bebas, hanya memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk memperlakukan buruh sebagai alat produksi semata, bukan sebagai manusia yang memiliki hak dan martabat. UU Cipta Kerja juga menyebabkan upah murah, pesangon rendah, mudahnya PHK, jam kerja yang fleksibel, hingga hilangnya beberapa saksi pidana.
"Tidak ketinggalan, dalam aksi 6 Juni, buruh juga menuntut Hapus OutSourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM)," lanjutnya.
Load more