Jakarta, tvOnenews.com - Belum selesai kasus dugaan fraud Indofarma, kini anak perusahaan BUMN farmasi Kimia Farma yang lain juga dikabarkan melakukan rekayasa keuangan.
Kabar penyelewengan keuangan di anak perusahaan Kimia Farma tersebut bahkan dilontarkan langsung langsung Staf Khusus III Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga.
Staf dari Menteri Erick Thohir tersebut mengatakan, pihaknya menemukan adanya dugaan rekayasa keuangan salah satu anak usaha Kimia Farma.
“Kimia Farma juga demikian. Ada inilah, rekayasa keuangan,” kata Arya Sinulingga dikutip Kamis (6/6/2024).
Bahkan, anak perusahaan Kimia Farma tersebut sudah akan diproses oleh Kementerian BUMN.
Kendati demikian, Arya belum menyebutkan secara rinci mengenai anak perusahaan tersebut.
“Temuannya udah ada, tinggal diproses aja,” kata Arya.
Arya menjelaskan, rekayasa keuangan yang diduga dilakukan anak usaha Kimia Farma itu berbeda dengan kasus PT Indofarma Tbk (INAF).
“Itu beda, dia rekayasa keuangan. Beda sama kalau Indo (Indofarma) itu kan uangnya hilang, diambil, kalau ini kan dia rekayasa, menggelembungkan,” jelas Arya.
Arya melanjutkan, bentuk rekayasa keuangan yang diduga dilakukan oleh anak usaha Kimia Farma adalah manipulasi keuangan.
Laporan keuangan perusahaan tersebut dibuat seakan-akan memiliki hasil penjualan atau distribusi berjalan baik.
Padahal, pada kenyataannya hasil penjualan tersebut sebenarnya tidak berjalan baik.
“Misalnya di distribusi distribusi dan sebagainya, seakan-akan penjualan semua bagus padahal enggak. Anaknya si KF (Kimia Farma),” tutur Arya.
Arya mengungkapkan, temuan dugaan rekayasa keuangan tersebut didasarkan pada hasil audit internal PT Kimia Farma.
“Itu hasilnya kalau nggak ada audit dari internalnya KF mana dapat itu, karena yang audit internal makanya didapat itu,” ungkap Arya.
Arya melanjutkan bocorannya bahwa permasalahan lain yang terjadi di Kimia Farma adalah banyaknya pabrik yang dibangun tetapi dinilai tidak efisien.
“Dan disamping itu juga KF (Kimia Farma) ada juga problem di pabriknya. Yaitu kebanyakan pabrik, enggak efisien."
"Makanya dari 10 pabrik bakal tinggal lima pabrik yang dikelola. Iya, jadi enggak efisien lah pokoknya, dulu itu terlalu banyak bangun pabrik. Padahal enggak butuh,” ungkap Arya menjelaskan.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) blak-blakan mengenai bobroknya perusahaan farmasi anak usaha Kimia Farma, yakni PT Indofarma Tbk (INAF) dan anak perusahaannya yakni PT IGM.
Berdasarkan dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Semester II 2023, BPK menguraikan sejumlah aktivitas yang berindikasi fraud atau penyelewengan alias korupsi yang menyebabkan kerugian negara sangat besar.
"Indofarma (INAF) dan PT Indofarma Global Medika (IGM) telah melakukan transaksi jual beli fiktif pada Business Unit Fast Moving Consumer Goods (FMCG)," sebagaimana tertuang dalam laporan IHPS Semester II 2023, dikutip Rabu (5/6/2024).
Selain itu, BPK juga menemukan penempatan dana deposito atas nama pribadi pada Koperasi Simpan Pinjam Nusantara (Kopnus) dan menggadaikan deposito pada Bank Oke untuk kepentingan pihak lain.
Lebih parah lagi, sekelas raksasa farmasi terbesar di Indonesia melakukan pinjaman online atau pinjol hingga melakukan penggelapan pengembalian pajak.
fraud atau korupsi yang terjadi di Indofarma juga termasuk penggunaan uang perusahaan untuk kepentingan-kepentingan pribadi segelintir pihak.
Aliran dana untuk urusan pribadi tersebut tentu tidak dilaporkan dan manipulasi data keuangan untuk terlihat bagus di mata investor alias windows dressing.
"Mengeluarkan dana tanpa underlying transaction, menggunakan kartu kredit perusahaan untuk kepentingan pribadi, melakukan pembayaran kartu kredit/operasional pribadi, melakukan windows dressing laporan keuangan perusahaan, serta membayar asuransi purna jabatan dengan jumlah melebihi ketentuan."
Akibat sederet fraud tersebut, BPK melaporkan terdapat indikasi kerugian negara mencapai Rp278,42 miliar dan potensi kerugian sebesar Rp18,26 miliar atas beban pajak dari penjualan fiktif FMCG.
Ditambah lagi, Indofarma juga melakukan pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan dan penjualan tanpa pertimbangan kemampuan finansial konsumen. Hal itu mengakibatkan potensi kerugian sebesar Rp146,57 miliar yang terdiri dari piutang macet sebesar Rp122,93 miliar dan persediaan yang tidak dapat terjual sebesar Rp23,64 miliar. (rpi)
Load more