Jakarta, tvOnenews.com - Di tengah berlanjutnya ancaman perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina, kondisi sektor keuangan nasional dipastikan tetap stabili. Kenaikan tarif yang mulai terapkan masing - masing negara berpotensi kembali memicu gejolak di perekonomian dunia.
Meski ketidakpastian global meningkat akibat perang dagang dua negara adikuasa, Ketua Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menilai sektor jasa keuangan nasional tetap stabil.
"Sektor jasa keuangan terjaga stabil yang didukung oleh tingkat permodalan yang kuat dan likuiditas memadai di tengah ketidakpastian global akibat masih tingginya tensi geopolitik," kata Mahendra dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner OJK Bulan Mei 2024 di Jakarta, Senin (10/6/2024).
Dia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2024 lebih tinggi dari ekspektasi pasar. Ekonomi di tiga bulan pertama 2024 didorong oleh pengeluaran pemerintah dan Lembaga Nonprofit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT), saat pelaksanaan Pemilu 2024.
Selain itu, tingkat konsumsi rumah tangga di kuartal II juga akan didorong dengan adanya kebijakan kenaikan gaji dan pembayaran tunjangan hari raya (THR) aparatur sipil negara (ASN) atau pensiunan serta periode Ramadhan dan Lebaran.
Meski ekonomi domestik tetap kuat, Mahendra Siregar mengingatkan besarnya ancaman eksternal dari perlambatan ekonomi global. Apalagi, tensi perang dagang kembali meningkat akibat kenaikan tarif Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin terhadap produk-produk dari Tiongkok baik produk green technology maupun besi baja.
Sementara di Amerika Serikat, tekanan inflasi kembali mereda di tengah moderasi pasar tenaga kerja dan kinerja sektor riil sehingga mendorong redanya tekanan di pasar keuangan global.
Sedangkan otoritas moneter di Eropa diperkirakan akan lebih akomodatif untuk mendorong perekonomian yang lemah di tengah tingkat inflasi yang terus mereda.
Selanjutnya dari Tiongkok yang masih menghadapi perlambatan kinerja perekonomian, bank sentral mengambil langkah akomodatif. Sementara pemerintah Cina menempuh kebijakan fiskal yang agresif.
Langkah pemerintah Cina yang butuh pembiayaan besar dengan merilis special long term bond atau obligasi pemerintah khusus jangka panjang sebesar 1 triliun yuan Tiongkok atau sekitar 138 miliar dolar AS, juga dikhawatirkan akan berdampak luas terhadap pasar keuangan global, termasuk Indonesia.
(ant)
Load more