Jakarta, tvOnenews.com - Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) menyoroti langah Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan BI-Rate pada April 2024 lalu. Langkah kenaikan suku bunga ini dinilai berbeda dari tren penurunan suku bunga di tingkat global.
Hal tersebut terungkap dalam laporan terbaru ADB bertajuk Asian Development Outlook (ADO) yang baru dirilis Rabu (17/7/2024) dari Manila, Filipina. ADB menilai langkah kenaikan bunga oleh Bank Indonesia menjadi 6,25 persen di April 2024 tidak sesuai ekspektasi.
Dalam laporan tersebut, ADB menyebut bahwa 30 persen kebijakan moneter yang diambil bank sentral di seluruh dunia selama periode Januari - Juni 2024 adalah penurunan suku bunga acuan. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan porsi 14 persen penurunan bunga di tahun 2023.
"Mayoritas bank sentral masih melanjutkan untuk menahan tingkat suku bunganya, meski upaya penurunan suku bunga mulai meningkat," seperti dikutip dari laporan ADB.
Di Kirgistan, ADB menyebtukan bahwa bank sentral bahkan telah menurunkan dua kali tingkat suku bunga acuan di Semester I-2024, seiring dengan turunnya tingkat inflasi dari double digit (di atas 10 persen) menjadi 4,5 persen.
Sementara bank sentral Pakistan juga melakukan penurunan suku bunga acuan, setelah tingkat inflasinya turun dari 38 persen di tahun 2023 menjadi hanya 11,8 persen di Mei 2024. "Penurunan (suku bunga) juga berlanjut di Armenia dan Georgia," tulis ADB.
"Kecuali untuk kenaikan mengejutkan dari Bank Indonesia di bulan April 2024, otoritas moneter (hanya) menunda penurunan tingkat suku bunganya, untuk menjaga daya saing mata uangnya terhadap dolar AS," tulis ADB.
Proyeksi Ekonomi
Meski ada kenaikan suku bunga, ADB tetap mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5,0 persen di tahun 2024 dan juga di tahun 2025. Permintaan atau konsumsi domestik diyakini masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain itu, ADB menilai adanya penignkatan konsumsi swasta, yang ditopang oleh belanja terkait pemilu dan pilkada, serta belanja sosial pemerintah, dan turunnya tingkat inflasi dan kenaikan gaji aparatur sipil negara (ASN).
"Kenaikan konsumsi publik akan mengatasi kontribusi negatif terhadap pertumbuha ekonomi dari ekspor yang tertekan akibat meemahnya permintaan global dan volatilitas harga komoditas," sebut ADB.
Selain itu, ADB juga menyoroti masih adanya kehati-hatian dari dunia usaha selama periode pemilu yang juga turut memperlambat pertumbuhan investasi. Hal ini diyakini akan berubah seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru. (hsb)
Load more