Jakarta, tvOnenews.com - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyebut industri biofuel telah dipersiapkan untuk mendukung program B50 yang akan menjadi prioritas Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
"Saat ini, perusahaannya sudah siap. Kami menyiapkan perusahaan yang nantinya akan berperan penting dalam mencapai target B50 sesuai arahan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto," kata Amran di Jakarta, dikutip dari Antara, Sabtu (20/7/2024).
Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan industri biofuel untuk mendukung program B50, yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati hingga 50 persen dari total konsumsi bahan bakar solar.
Namun, Amran tidak menjelaskan secara rinci tentang lokasi dan daerah industri yang telah disiapkan untuk mendukung program tersebut.
Program B50 dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor sola dan menggantinya dengan biofuel atau biosolar dari minyak sawit mentah (CPO).
Produksi biofuel di RI saat ini diketahui mencapai 46 juta ton per tahun.
Dari jumlah produksi tersebut, sekitar 26 juta ton diekspor ke pasar global. Sedangkan, pemerintah masih mengimpor sekitar 5,3 juta ton solar setiap tahunnya.
"Produksi biofuel kita saat ini 46 juta ton. Kita ekspor 26 juta ton. Jika kita konversi lagi, karena kita impor 5,3 juta ton solar, harga CPO dunia akan naik, dan petani Indonesia yang akan menikmatinya," ujarnya.
Amran berharap implementasi program B50 tidak hanya mengurangi ketergantungan impor solar, tetapi juga meningkatkan harga CPO di pasar internasional.
Sebab ini dinilai akan menguntungkan petani di Indonesia, yang menjadi produsen CPO terbesar dunia dengan pangsa pasar mencapai 58 hingga 60 persen.
Langkah ini diyakini tidak akan menimbulkan masalah yang berarti, seiring dengan pasokan CPO di Indonesia yang aman dan tidak akan terganggu.
"Sumber bahan baku kita untuk CPO terbesar dunia. Kita punya 58 persen hingga 60 persen untuk CPO. Saya kira tidak ada masalah, Insya Allah aman," kata Amran.
Beberapa kalangan menilai keberlanjutan program biodiesel sebagai bahan bakar nabati memerlukan penanganan masalah di sektor hulu sawit.
Head Of Sustainability Division Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Rapolo Hutabarat, mengatakan penanganan masalah di sektor hulu sawit merupakan kunci keberlanjutan program biodiesel karena menyangkut ketersediaan bahan baku.
"Permasalahan ini harus segera diselesaikan, terutama dari sisi hulu. Banyak yang harus dikerjakan di sektor hulu, terutama karena inilah yang menentukan ada tidaknya bahan baku," katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertemakan 'Biodiesel untuk Negeri' yang digelar oleh Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS) dan Sawit Setara.
Keberlanjutan program blending biofuel, seperti B40 dan peningkatan lebih lanjut ke B45 atau B50, sangat penting. Namun, keberhasilan program tersebut sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku di sektor hulu.
Aprobi berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan permasalahan di sektor hulu agar Indonesia dapat mencapai cita-cita besar dalam industri sawit, termasuk target produksi CPO sebesar 100 juta ton pada tahun 2045.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Rino Afrino, menambahkan perlunya peningkatan produktivitas melalui langkah-langkah pembenahan sektor hulu.
Terdapat beberapa tantangan dalam peningkatan produktivitas sawit, di antaranya legalitas lahan di mana saat ini sekitar 3,4 juta hektar lahan sawit berada dalam kawasan hutan dan terancam hilang.
Selain itu, realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) masih di bawah 10 persen dari target, yaitu 390 ribu hektar dari 2,4 juta hektar yang ditetapkan. (ant/rpi)
Load more