“Untuk itu, pemerintah perlu membantu produsen modul surya lokal dengan memberikan bantuan modal, pemberian insentif fiskal dan non-fiskal untuk mengurangi biaya produksi sehingga dapat bersaing dengan modul impor Selain itu perlu regulasi untuk menciptakan pasar domestik yang khusus (dedicated) untuk menyerap produksi mereka, sembari bekerja sama dengan produsen global untuk transfer teknologi,” ujar Fabby.
Ia menambahkan, untuk mengatasi tantangan pembangunan rantai pasok industri PLTS, pemerintah perlu campur tangan. Pengeluaran modal (capital expenditure) untuk membangun rantai pasok polysilicon, wafer, sel dan modul surya mencapai 170 hingga 190 juta dolar AS per Gigawatt (GW) kapasitas, ujarnya.
Ia menilai, untuk menarik investor dengan nilai investasi yang terbilang besar dan risikonya, pemerintah harus dapat merumuskan paket kebijakan dan insentif, baik pada di sisi industri dan penciptaan permintaan domestik.
Secara strategi, IESR mendorong bahwa di periode tahun 2024-2029, Indonesia setidaknya perlu mencapai, pertama, pabrikan modul surya domestik menggunakan sel surya produksi dalam negeri.
Kedua, komponen pendukung untuk sistem PLTS dapat diperoleh dari industri domestik.
Ketiga, produk modul surya domestik yang memiliki daya saing dari segi harga, kualitas, dan bankability untuk international project finance.
Keempat, kemandirian rantai pasok komponen PLTS. Kelima, menjadi produsen komponen pendukung yang memiliki pangsa pasar global.
Load more