"Pengalaman kami di lapangan menunjukkan adanya gejala mirip opiat pada pengguna kratom, seperti sakit kepala dan gejala putus obat," jelasnya.
Terkait potensi manfaat kratom sebagai obat, Marthinus tidak menampik bahwa beberapa pihak memanfaatkannya untuk efek analgesik atau pereda nyeri.
Namun, ia menegaskan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan.
"Beberapa penelitian, termasuk dari seorang peneliti Jepang pada 2004, menyebutkan bahwa pada kadar 5-15 %, kratom memberikan efek opiat mirip morfin," ungkapnya.
Marthinus menekankan pentingnya pendekatan ilmiah dalam menentukan apakah kratom bermanfaat atau justru berbahaya. Menurutnya, keputusan terkait kratom harus berdasarkan hasil penelitian yang objektif dan ilmiah.
Dalam menentukan apakah kratom masuk dalam kategori narkotika atau tidak, BNN mengacu pada standar internasional, seperti UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) dan WHO.
"Pada 2013, UNODC menetapkan kratom sebagai new psychoactive substances (NPS). Tahun ini, kami juga menerima surat dari UNODC yang menyatakan bahwa kratom masih dalam pengawasan," tambah Marthinus.
Load more