Dia menyebutkan pada tahun 2017-2018, nilai ekspor nikel Indonesia hanya mencapai US$3,3 miliar. Namun pada 2023-2024 nilai ekspor Indonesia mencapai minimal US$40 miliar.
Dengan jumlah tersebut, Indonesia akan mendapatkan pemasukan sekitar Rp600 triliun (kurs Rp15.000 per dolar AS). Ini juga menjadikan Indonesia sebagai eksportir terbesar industri hilirisasi nikel di dunia.
"Kita dibawa ke WTO (World Trade Organization), tapi apa yang terjadi begitu kita membangun smelter, nilai ekspor kita dari tahun 2017-2018, itu hanya 3,3 miliar dolar AS. Dan di 2023-2024, saya pastikan minimum 40 miliar dolar AS. Sekarang sudah 34 miliar dolar AS," ucap Bahlil.
Menurutnya, keberhasilan itu tidak hanya meningkatkan posisi Indonesia di pasar global, tetapi juga memperkuat reputasi RI di hadapan China, Eropa, dan Amerika. Dalam waktu kurang dari lima tahun, Indonesia berhasil mengubah posisi strategisnya di pasar nikel global.
Oleh sebab itu, lanjut Bahlil, Indonesia harus untuk mengambil kendali dalam penentuan harga komoditas strategis seperti nikel, batu bara, dan timah. Pemerintah tidak ingin harga komoditas ini terus dikendalikan oleh negara lain.
"Harga batu bara Australia dengan kita, itu Australia lebih mahal, padahal kita eksportir batu bara terbesar di dunia. Ini lucu-lucu. Nah, saya pikir ini bagian-bagian yang harus kita perbaiki. Sekarang sudah bagus, tapi kita mau yang lebih bagus lagi dan karena itu harus ada kesadaran kolektif dan kesadaran bertahap," tutur Bahlil.
Bahlil yakin langkah tersebut membuat Indonesia lebih mampu mencapai tujuan ekonomi yang diinginkan, baik untuk pemerintah maupun masyarakatnya.
"Saya tidak mau negara ini diatur orang lain. Yang tahu tujuan negara ini adalah kita. Pemerintah dan rakyat bangsa Indonesia," pungkasnya.(nba)
Load more