Ia berpendapat, untuk mencapai swasembada energi yang dicita-citakan Presiden Prabowo, perlu dilakukan konektivitas antar pulau untuk memungkinkan hilirisasi pasokan energi di masa depan.
Meskipun Indonesia saat ini adalah pusat energi, namun potensi sumber energi belum merata dan tidak meningkat seperti yang diharapkan.
Mengingat mayoritas penduduknya tinggal di Pulau Jawa dan pasokan energi di pulau tersebut surplus, maka fokus selanjutnya adalah pengembangan energi alternatif di berbagai daerah melalui hilirisasi.
Misalnya, PT Pertamina (Persero) sedang mengerjakan pengembangan B35 (campuran biofuel minyak sawit dan minyak tanah/solar) dan E10 (campuran etanol dan bensin tanpa timbal).
“Sekarang apa yang mesti kita lakukan? Tentunya banyak sekali research (penelitian) yang kita sudah lakukan, tidak cuma tebu, tapi juga ada nyamplung (sejenis pohon Bintangur yang hidup di pesisir yang berpasir dan berbatu karang), terus singkong, dan sebagainya. Nah, sekarang men-scale up (mengembangkan) berbagai research-research tersebut, tentunya kita butuh lahan. Ini satu persoalan tersendiri, bagaimana lahan-lahan yang tidak produktif, kemudian juga tentunya kita juga melihat blue economy (ekonomi biru) sebagai bagian juga dari sebagai sumber energi, ini yang saya maksud sebagai hilirisasi di energi itu sendiri,” kata dia.
“Tentunya kita perlu membangun lebih lanjut berbagai critical komponen dari renewable energy (energi terbarukan itu sendiri, baik itu solar panel, wind turbines (turbin angin), kemudian juga batteries (baterai), dan sebagainya. Kita sebetulnya elemen-elemennya sudah punya, namun membangun value chain-nya itu yang belum, karena masih ada missing middle-nya, baik kapasitas, edukasi, dan seterusnya,” katanya lagi.
Contoh lainnya adalah perusahaan Tiongkok telah mencapai Tingkat 1 (peringkat yang menunjukkan tingkat perusahaan yang memproduksi panel surya) dalam sel surya, yang telah memanfaatkan penelitian Eropa secara ekstensif.
Load more