Vivi Yulaswati selaku Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), mengatakan bahwa kebutuhan investasi untuk transisi energi diperkirakan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi 8%
Transisi energi seolah mencerminkan upaya Presiden untuk menjadikan Indonesia mandiri energi dan pada akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebesar 8 persen pada tahun 2029.
Namun, untuk mencapai tujuan ini memerlukan investasi dalam berbagai program. Mulai dari pembiayaan inovatif, green bond, blue bond, hingga program Just Energy Transition Partnership (JETP) ,
“Investasi hari ini kita tak hanya rely on pada yang traditional (tradisional) atau conventional sources (sumber-sumber konvensional). Kita sekarang juga banyak melakukan innovative financing (pembiayaan inovatif), skema-skema baru, ada bond, ada (pendanaan) karbon, dan ke depannya tentunya balik lagi ke arah implementasinya yang tentunya harapannya akan ada akselerasi-akselerasi,” ujar Vivi.
Pemanfaatan teknologi untuk transisi energi di Indonesia juga sangat beragam dengan keekonomian yang harus disesuaikan dengan wilayah masing-masing.
“Bicara Papua, bicara (Indonesia bagian) barat, dan Jawa tentunya kebutuhannya bisa beda-beda, dan source-nya juga beda-beda. Jadi, manakala kita bisa membangun konteks hilirisasi dari energi masing-masing, membangun value chain-nya (rantai nilai), mudah-mudahan harga keekonomiannya bisa didapat dengan lebih cepat lagi. Dengan anak-anak muda hari ini yang semuanya lebih memudahkan untuk beradaptasi terhadap kemajuan teknologi dan inovasi, harapannya tentunya pekerjaan hijau (green jobs) ini bisa kita lakukan juga,” kata Vivi.
Ia berpendapat, untuk mencapai swasembada energi yang dicita-citakan Presiden Prabowo, perlu dilakukan konektivitas antar pulau untuk memungkinkan hilirisasi pasokan energi di masa depan.
Meskipun Indonesia saat ini adalah pusat energi, namun potensi sumber energi belum merata dan tidak meningkat seperti yang diharapkan.
Mengingat mayoritas penduduknya tinggal di Pulau Jawa dan pasokan energi di pulau tersebut surplus, maka fokus selanjutnya adalah pengembangan energi alternatif di berbagai daerah melalui hilirisasi.
Misalnya, PT Pertamina (Persero) sedang mengerjakan pengembangan B35 (campuran biofuel minyak sawit dan minyak tanah/solar) dan E10 (campuran etanol dan bensin tanpa timbal).
“Sekarang apa yang mesti kita lakukan? Tentunya banyak sekali research (penelitian) yang kita sudah lakukan, tidak cuma tebu, tapi juga ada nyamplung (sejenis pohon Bintangur yang hidup di pesisir yang berpasir dan berbatu karang), terus singkong, dan sebagainya. Nah, sekarang men-scale up (mengembangkan) berbagai research-research tersebut, tentunya kita butuh lahan. Ini satu persoalan tersendiri, bagaimana lahan-lahan yang tidak produktif, kemudian juga tentunya kita juga melihat blue economy (ekonomi biru) sebagai bagian juga dari sebagai sumber energi, ini yang saya maksud sebagai hilirisasi di energi itu sendiri,” kata dia.
“Tentunya kita perlu membangun lebih lanjut berbagai critical komponen dari renewable energy (energi terbarukan itu sendiri, baik itu solar panel, wind turbines (turbin angin), kemudian juga batteries (baterai), dan sebagainya. Kita sebetulnya elemen-elemennya sudah punya, namun membangun value chain-nya itu yang belum, karena masih ada missing middle-nya, baik kapasitas, edukasi, dan seterusnya,” katanya lagi.
Contoh lainnya adalah perusahaan Tiongkok telah mencapai Tingkat 1 (peringkat yang menunjukkan tingkat perusahaan yang memproduksi panel surya) dalam sel surya, yang telah memanfaatkan penelitian Eropa secara ekstensif.
Hal ini menciptakan rantai nilai hulu hingga hilir bagi industri modul surya dengan harga terjangkau. Vivi juga berpendapat bahwa dengan cara ini Indonesia bisa berkembang melalui hilirisasi dan menggantikan pilihan sumber energi tunggal untuk seluruh Indonesia.
Selain itu, wilayah Papua memiliki sumber energi berbasis air yang dapat menjadi sumber energi bagi pengembangan industri di wilayah timur Indonesia. Energi panas bumi atau hilir energi panas bumi kini juga bisa dikembangkan di wilayah Indonesia bagian barat.
“Tentunya, grid-nya (interkoneksi antarpulau) mesti beres, hulu ke hilirnya dibangun, dan tentunya kapasitas, termasuk manusianya, itu juga harus dibangun dalam lima tahun ini,” ujar Vivi lagi. (ant/nsp)
Load more