Jakarta, tvOnenews.com - Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) meminta kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk melakukan pembatalan terkait rencana kenaikan pajak PPN 12 persen di Januari 2025 serta program pengampunan pajak atau tax amnesty.
Ia mengaku akan melihat ada akrobat Ketidakadilan dalam kebijakan tersebut.
"Meski tax amnesty dan kenaikan PPN ini dua hal yang berbeda, tapi keduanya sama sama terkait pajak yang melibatkan golongan masyarakat dengan strata pendapatan yang berbeda. Disini menjadi nampak perbedaan perlakuan terhadap para wajib pajak, rakyat kecil di tekan kenaikan pajak, sementara di sisi lain ada kelompok masyarakat kaya yang mendapat privilege pengampunan pajak," katanya.
Di sisi lain, Ketua Komisi XI Misbakhun mengatakan bahwa Komisi XI mengambil inisiatif menjadi pengusul Revisi Undang Undang No.11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty pasca mendengar informasi dari Baleg DPR pada pertemuan dengan OJK yang menegaskan ada usulan mengenai Prolegnas Prioritas tahun 2025.
Menurut Misbakhun, Komisi XI dirasa lebih tepat menjadi pengusul lantaran memiliki pengalaman membahas mengenai pengampunan pajak dalam tax amnesty yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya.
"Masyarakat kelas menengah ke bawah kini sebetulnya tengah dalam masalah tekanan daya beli, akibat pendapatannya yang tak mampu mengimbangi kenaikan inflasi. Tercermin dari laju konsumsi rumah tangga yang bahkan sudah tiga kuartal tak lagi mampu tumbuh di atas lima persen membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia lajunya makin pelan," katanya.
Selain itu, Executive Board Ikatan Mahasiswa Doktoral Indonesia Tantan mengatakan bahwa PPN dikenakan terhadap seluruh transaksi barang serta jasa yang dilakukan masyarakat, baik itu kelas menengah ataupun masyarakat miskin.
"Maka, tak heran kini mulai marak di media sosial masyarakat yang menyatakan rakyat kecil dihantam PPN, orang kaya dapat pengampunan pajak. Masalah terkait hal ini akan menjadi semakin pelik jika isu 'ketidakadilan' tersebut dieskalasi dalam skala yang lebih besar dan bisa melahirkan gerakan pembangkangan sipil atas kebijakan pemerintah yang dirasakan memberatkan dan tidak adil," katanya.
Pada catatan tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2024, yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 53,08 persen, hanya bisa tumbuh 4,91 persen, pertumbuhan ini lebih rendah dari laju pertumbuhan kuartal II-2024 sebesar 4,93 persen. Kuartal I-2024 pun hanya tumbuh 4,91 persen.
Kondisi ini menjadikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2024 hanya bisa tumbuh 4,95 persen, lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II-2024 yang sebesar 5,11 persen maupun kuartal I-2024 yang tumbuh 5,05 persen berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS).
Dengan naiknya PPN pada 2025 sebesar 12 persen sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), akan semakin memberatkan daya beli masyarakat ke depan, dan berpotensi semakin melemahkan laju konsumsi rumah tangga.
"Kita semua berkewajiban mengawal lajunya pemerintahan, terutama sekali menjaga Presiden Prabowo dari anasir dan bisikan yang keliru dari jajaran Menteri Ekonomi-nya yang kurang memiliki kreatifitas dan tidak cakap dalam melahirkan kebijakan yang bisa menambah pendapatan negara," katanya.
Target pertumbuhan ekonomi delapan persen tentu hanya akan menjadi mimpi semata jika para punggawa presiden hanya melakukan tindakan normatif dan konsisten dengan kebijakan lama yang tidak kreatif dan berkeadilan.
"Jangan Hanya bisa menaikkan pajak rakyat kecil, Coba optimalkan pendapatan dari pajak tambang dan pajak aktivitas bisnis di sektor pengelolaan sumber dàya alam," ujar Wakil Rektor Universitas Jakarta tersebut. (ant/nsp)
Load more