Dwi Astuti menjelaskan penentuan apabila buku tersebut melanggar hukum hanya dapat ditetapkan lewat putusan pengadilan.
“Sehingga apabila persyaratan yang tidak dipenuhinya belum ada putusan pengadilan maka tetap mendapatkan fasilitas pembebasan PPN,” jelasnya.
Namun, jika putusan pengadilan menyatakan buku tersebut merupakan buku yang melanggar hukum maka penerbit atau importir buku wajib membayar PPN sesuai ketentuan, yakni 11 persen untuk 2024, dan naik menjadi 12 persen pada 2025.
Agar informasi mengenai pembebasan PPN untuk buku dipahami para pelaku industri, Dwi Astuti menyampaikan pihaknya telah melakukan sosialisasi melalui situs pajak.go.id serta media sosial DJP.
Adapun secara rinci, dalam Pasal 1 PMK 5/2020, buku didefinisikan sebagai karya tulis dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala.
Sementara Pasal 2 merinci impor dan/atau penyerahan buku yang dibebaskan dari pengenaan PPN mencakup buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama.
Salah satu definisi buku pelajaran umum dalam aturan tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017, dengan buku pendidikan adalah buku yang digunakan dalam pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan akademik, pendidikan profesi, pendidikan vokasi, pendidikan keagamaan dan pendidikan khusus.
Load more