"Semakin banyak konsumen yang beralih ke rokok murah, apalagi sebagiannya adalah rokok ilegal, kemungkinan besar akan membuat produksi rokok nasional menyusut. Jika ini terjadi, kami kira yang justru untung adalah penjual rokok ilegal yang tidak terbebani oleh pungutan sebagaimana rokok legal," katanya.
Ia juga mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir, produksi rokok di dalam negeri telah menurun rata-rata 0,78 persen per tahun, dan tren penurunan ini diperkirakan akan terus berlanjut jika beban industri tembakau tidak segera diringankan.
Permintaan Relaksasi dari Pemerintah
GAPPRI sebelumnya telah meminta kepada pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu), untuk memberikan relaksasi berupa tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan HJE sepanjang tahun 2025–2027.
"Ini diperlukan agar industri hasil tembakau bisa pulih dari kontraksi yang diakibatkan oleh kenaikan CHT dan HJE yang tinggi selama 2020–2024, ditambah dampak pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya selesai," ungkap Henry.
Selain itu, GAPPRI juga telah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, untuk mempertahankan tarif PPN rokok di level 9 persen. Hal ini diharapkan dapat membantu IHT bertahan, mengingat kondisinya masih belum stabil.
Henry meminta agar aturan dalam PMK No. 63 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau segera diharmonisasikan dengan kebijakan pemerintah terbaru.
"Agar pengaturan pada PMK No 63 tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau dapat segera diharmoniskan dengan arah kebijakan pemerintah yang disampaikan oleh Ibu Menteri Keuangan pada tanggal 31 Desember 2024, mengingat IHT tidak masuk kriteria Barang Mewah," kata Henry menutup pernyataannya. (ant/nsp)
Load more