Kuala Lumpur, tvOnenews.com - Penangkapan sindikat penyelundup rokok elektrik yang menyuap petugas di Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) mengungkap apa yang disebut para ahli medis sebagai krisis kesehatan yang kian memburuk di Malaysia.
Konsumsi zat mengandung nikotin, termasuk rokok elektrik yang dicampur obat-obatan terlarang, menjadi perhatian serius.
Dalam operasi yang berlangsung lebih dari tiga bulan, pihak berwenang menyita barang senilai 17,9 juta ringgit (US$4 juta) dan menangkap 14 tersangka. Kepala MACC, Azam Baki, menyatakan bahwa penyelidikan masih berlangsung untuk mengidentifikasi tersangka lainnya.
Konsumsi rokok elektrik legal di sebagian besar wilayah Malaysia, kecuali Johor dan Terengganu. Namun, pada 2023, keputusan pemerintah untuk menghapus cairan atau gel nikotin dari Undang-Undang Racun 1952 menciptakan celah hukum yang memungkinkan anak di bawah umur mengakses produk ini tanpa batasan.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Malaysia Dzulkefly Ahmad menyatakan bahwa pelarangan total rokok elektrik bukanlah solusi ideal saat ini. Namun, celah regulasi ini menjadi peluang bagi sindikat untuk memasarkan produk rokok elektrik, termasuk yang dicampur obat-obatan berbahaya, kepada anak muda.
Menurut survei, proporsi pengguna rokok elektrik berusia 15-24 tahun di Malaysia meningkat dari 1,1% pada 2011 menjadi 8,6% pada 2023.
Para ahli kesehatan memperingatkan lonjakan penggunaan produk rokok elektrik dengan cairan yang dicampur zat ilegal, seperti pedem—istilah slang untuk senyawa sintetis berbahaya.
Pedem sering mengandung bahan kimia seperti ketamin dan amfetamin, yang dapat menyebabkan keracunan, kejang, halusinasi, hingga penyakit mental jangka panjang jika dikonsumsi terus-menerus.
Bahkan, pedem dijual secara daring di platform seperti TikTok dan Telegram dengan harga sekitar 100 ringgit (US$23) untuk dosis 10 mililiter.
Raja Azizan Suhaimi, Sekretaris Jenderal Dewan Penyalahgunaan Zat Malaysia (MASAC), menyatakan bahwa pedem murah, mudah ditemukan, dan dapat menyebabkan dampak kesehatan serius, termasuk gangguan mental permanen.
Mantan pengguna pedem, yang berbicara secara anonim, menggambarkan bagaimana obat ini merusak hidup banyak orang, termasuk seorang temannya yang kehilangan pekerjaan, keluarga, dan akhirnya didiagnosis bipolar.
Peningkatan konsumsi rokok elektrik berdampak signifikan pada sistem kesehatan Malaysia. Kementerian Kesehatan memperkirakan bahwa biaya pengobatan pasien dengan kerusakan paru-paru akibat vaping berlebihan dapat mencapai lebih dari US$80 juta per tahun pada 2030, dengan setiap rawat inap memakan biaya hingga 150.000 ringgit (US$33.482) untuk masa perawatan 12 hari.
Jika tidak ada langkah pengendalian, Dzulkefly Ahmad memperingatkan bahwa biaya perawatan kesehatan terkait vaping bisa melonjak hingga 369 juta ringgit setiap tahun pada 2030.
Negara tetangga, Singapura, yang telah melarang vaping sejak 2010, juga melaporkan peningkatan penyelundupan produk rokok elektrik melalui Malaysia. Lonjakan ini menunjukkan dampak lintas batas dari lemahnya regulasi di Malaysia terhadap negara-negara tetangganya.
Langkah-langkah pengawasan dan regulasi yang lebih ketat kini menjadi kebutuhan mendesak untuk melindungi masyarakat, terutama generasi muda, dari ancaman rokok elektrik dan zat berbahaya yang dikandungnya. (nsp)
Load more