“Yang membuat ketidakpastian ini salah satu di antaranya adalah dinamika politik global. Paris Agreement ini kan merupakan konsensus global, kita dipaksa untuk mengikuti itu, padahal baseline yang kita punya tidak sebaik mereka, negara-negara G7 tersebut,” kata Bahlil.
Ia menyoroti tingginya biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan apabila dibandingkan dengan menggunakan energi fosil di Indonesia.
Dengan keluarnya AS dan surutnya lembaga pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan, Bahlil mempertimbangkan ulang nasib pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.
“Kita jangan sampai terjebak. Makanya kita harus hitung dengan baik. Ini (pengembangan energi baru dan terbarukan) antara gas dan rem, seperti mengelola COVID-19,” ucap Bahlil.
Meski begitu, Bahlil menyatakan Indonesia masih berkomitmen mengembangkan energi baru dan terbarukan sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial dalam rangka menjaga kualitas udara.
“Saya pikir, ada bagusnya juga untuk tetap kita memakai energi baru-terbarukan sebagai konsensus pertanggungjawaban kita sebagai makhluk sosial, untuk mengamankan udara kita,” ucap dia. (ant/nba)
Load more